Selasa, 25 Oktober 2011

MEMAHAMI HAKEKAT GLOBALISASI PENDIDIKAN

A. Pengertian Globalisasi 
Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas-luasnya di seluruh dunia melalui berbagai instrumen. Globalisasi diartikan juga sebagai pasar yang meng-global, atau kapitalisme global (secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa). Jadi arti kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak, terintegrasi dan menyatu; menggantikan nasional dan regional. Globalisasi, menurut Stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antar negara, lembaga dan aktornya. Karena itu interdependensi antar Negara yang seperti itu lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Globalisasi lahir dari doktrin neo-liberal yang dipelopori oleh Friedrich von Hayek (1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Globalisasi sangat mempengaruhi kehidupan dan bahwa kenyataannya kehidupan berubah begitu cepat menunjukkan bahwa orang-orang yang fleksibel dan mudah beradaptasi merupakan kebutuhan dalam era globalisasi. Ekonomi, dengan integrasi ekonomi global, modal, tenaga kerja dan barang-barang sekarang bergerak jauh lebih cepat melintasi batas-batas nasional, melepaskan banyak kompetisi internasional. Globalisasi tidak hanya membuka kesempatan bagi lulusan untuk memasuki pasar global, tetapi juga mengundang ancaman pada tenaga kerja yang lebih profesional dari negara lain. Arus bebas modal, orang dan barang-barang mudah di akses ke informasi dan komunikasi modern perangkat yang mungkin membawa demokratis dan nilai-nilai egaliter, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia dan mengubah pengertian tentang kewarganegaraan dan nasionalisme. Sosial, globalisasi juga dapat mengubah struktur sosial dari sosialis ke kapitalis atau dari masyarakat kepada individu. Dampak sosial juga dapat menguntungkan jika individualisasi memberikan pengertian tentang kebebasan, berinisiatif, kreativitas dan sebagainya.

B. Reformasi Pendidikan

Reformasi pendidikan dimulai dari Sekolah Menengah Eastwood yang berada dikota Madisonville di Amerika Serikat, merupakan sekolah menengah yang diarahkan dalam melakukan pembaharuan dunia pendidikan dan terjadi secara cepat, dimana setiap minggunya sekolah ini harus selalu membawa dimensi-dimensi baru dalam perubahan kearah yang lebih baik lagi. Selama dua tahun telah terjadi perubahan yang sangat cepat terlebih lagi dalam hal inovasi pengembangan kurikulumnya yaitu penilaian inti kurikulum, dasar pengambilan keputusan, ujian alternatif, evaluasi kinerja, penelitian dasar dalam pengajaran, teknologi bidang pendidikan, dan penghargaan terhadap nilai. Sekolah menengah Eastwood memberikan gambaran reformasi pendidikan dengan melakukan perubahan kurikulum disekolah. Istilah reformasi sering dipersamakan dengan revolusi. Dalam beberapa hal bisa sama seperti adanya perubahan secara besar-besaran. Namun kunci pokok yang membedakan reformasi dengan revolusi adalah tidak adanya kekerasan dalam mengubah system dan tatanan yang sudah ada. Jadi reformasi dijalankan secara lebih sistematis, terprogram, manusiawi dan gentle (Nurkolis, 2003:32). Menurut Tilaar (1999:16) reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dengan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan yang menyeluruh dari suatu system kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, dan tentu saja bisa diterapkan dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa beberapa karakteristik reformasi dalam bidang tertentu, yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa lalu, keinginan untuk memperbaiki pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan reformasi, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya system dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah ataupun skala besar seperti negara. Reformasi pendidikan tejadi dalam dua arah. Pertama struktur pendidikan yang sudah kuno, hal ini disebabkan oleh interpretasi sosial dan mungkin pula filsafat pendidikan yang cocok bagi masyarakat yang cukup statis dan hirarkis pada waktu itu telah hancur. Kedua penekanan jumlah peserta didik sehingga teknik dan cara mengajar juga harus diperbaharui agar tercapai tujuan pendidikan. Reformasi pendidikan merupakan gerakan yang modern dan hal ini berasal dari jaman Rousseau yang tersebar diseluruh Amerika Serikat dan menekankan pada kebebasan dan kemauan belajar, yang dibangun atas pandangan dasar akan sifat manusia. Jadi dalam masyarakat yang berpendangan Liberal mennyatakan hendaknya pendidikan tidak menekankan pada perbedaan-perbedaan sosial dan kecerdasan. Maka dalam menghadapi era globalisasi Indonesia membuat reformasi pendidikan kedalam empat aspek sasaran pembangunan yaitu: 1. Pembangunan pendidikan harus dapat menjamin kesempatan belajar bagi warga masyarakat secara keseluruhan. 2. Pembangunan pendidikan harus memiliki relevansi yaitu proses pendidikan yang dilakukan dan lulusannnya harus dapat memenuhi kebutuhan industri. 3. Pembangunan pendidikan harus diarahkan pada mutu pengjaran dan lulusan. Pengembangan mutu akan bergantung pada efektivitas belajar mengajardan sumber daya pendidikan seperti guru yang bermutu, dana memadai, fasilitas dan infrakstruktur yang memadai pula. 4. Pembangunan pendidikan harus mengarah pada terciptanya efisiensi pengelolaan pendidikan, da nhal ini akan tercapai bila tujuan pendidikan tercapai.

C. Hakekat Globalisasi Dalam Dunia Pendidikan

Dalam era globalisasi pendidikan, dengan perspektif ekonomi secara nyata beralih fungsi menjadi mesin pencetak tenaga kerja baik pada skala lokal, nasional, dan Internasional. Pendidikan perspektif ekonomi akan melahirkan SDM-SDM yang berorientasi individualis (untuk eksistensi diri dalam kehidupan), materialis (kepuasan menikmati materi) dan liberalis (menganut kebebasan dalam berperilaku, berpendapat, kepemilikan dan berkeyakinan). Jadi pendidikan adalah sektor publik yang sangat penting pada hampir semua Negara. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari besarnya anggaran belanja yang harus dialokasikan untuk sector pendidikan oleh Negara tersebut (Effendy,1997:38). Menurut Sihombing dan Indardjo (2003:4-5), pendidikan sebagai barang public (public goods) mengandung arti bahwa pendidikan secara keseluruhan bukan merupakan kebutuhan perorangan atau individu saja, melainkan merupakan kebutuhan bersama dari seluruh komponen yang ada dalam suatu Negara sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pendidikan (secara keseluruhan) seharusnya ditanggung dan menjadi tanggungan Negara sebagaimana sector public lainnya. Menurut Kua Kia Soong dalam era globalisasi informasi dan pengetahuan, pendidikan membutuhkan penyelidikan yang lebih dalam lagi memaknai arti sebuah pengetahuan. Dunia pendidikan selalu berfokus pada menghasilkan output yang professional, yang ahli didalam bidangnya dan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial. Disamping itu dalam era globalisasi pendidikan lebih diarahkan kepada perkembangan seni dan budaya seperti: musik, tari-tarian, drama, dan kesenian visual, serta pada perkembangan pada pengetahuan tentang alam yang lebih dalam lagi untuk membentuk imajinasi dan kreativitas pelajar. Sedangkan menurut Simanjuntak (1992), pada hakekatnya dalam era globalisasi suatu komoditas dikatakan memiliki daya saing manakala memiliki harga jual yang bersaing dan mutunya baik, dimana daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi dipasar Internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh harga laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya. Dalam hal ini bagaimana kemampuan para penyelenggara pendidikan dalam menyelenggarakan proses pendidikannya disuatu sekolah, dengan mutu yang baik dan biaya yang tidak mahal, sehingga menjadi pilihan masyarakat. Menurut professor Howard Gardner seorang ahli psikologi Penddikan pada abad 21 merupakan pengembangan intelegensi. Professor Howard Gardner menggambarkan bahwa intelegensi didalam problem-solving dalam satu fakta dan kebudayaan berdasarkan teori multi dimensi dan menyatakan juga bahwa bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat melihat dengan jelas kenyataan dan yang mengidentifikasi jalannya pembelajaran dan dapat menggambarkan secara jelas kemampuan intelegensi bangsanya. Professor Howard Gardner mengakategorikan tujuh hal yang termasuk kedalam intelegensi yaitu: Verbal, Logical-Mathematical, Visual-Spatial, Bodily-Kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal Intelligences. Dalam era globalisasi seorang guru dituntut harus memililiki kualifikasi sebagai pendidik dan pengajar, dimana guru merupakan komponen utama dalam pelaksanaan dan proses pendidikan. Perubahan sistem pelaksanaan pendidikan, dan adanya tantangan-tantangan (baik lokal, regional, dan internasional) menghendaki adanya kriteria guru yang memiliki kualiltas yang sesuai dengan kebutuhan dalam memfasilitasi siswa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Untuk memiliki kualitas tersebut, guru harus melewati proses pendidikan yang bermutu dan memenuhi standar dengan mengacu pada jalr pendidikan profesi (Azis Mahfuddin; 17).

D. Implikasi Globalisasi Untuk Pendidikan 

Pasca-ekonomi industri, masyarakat dan perusahaan lebih mengandalkan universitas untuk pelatihan dan penelitian dan pengembangan karena ekonomi dan sosial yang cepat perubahan, yang akan memberikan keterampilan pekerja dan kompetensi. Realitas perubahan yang dilahirkan oleh globalisasi adalah mengharuskan universitas tanggap terhadap perubahan-perubahan yang tejadi begitu cepat. Menurut Tye (1992) Globalisasi Pendidikan melibatkan: 1. Studi tentang masalah-masalah yang melintasi batas-batas nasional, dan keterkaitan antara sistem yang terlibat dalam ekonomi, lingkungan, budaya, politik dan teknologi. 2. Budidaya pemahaman lintas-budaya, yang mencakup pengembangan keahlian yang mampu melihat kehidupan dari sudut pandang orang lain. 3. Pendekatan guru yang berpusat pada siswa dalam mengajar dan mengeksposnya untuk berbagai macam teknik mengajar dan kegiatan belajar (tidak hanya ceramah) dan ke berbagai sumber informasi (tidak hanya buku pelajaran). 4. Tugas guru yang memberikan pembelaran terhadap cara belajar siswa secara mandiri, bagaimana siswa dapat melihat dunia dari berbagai perspektif, dan bagaimana siswa menerapkan pengetahuan mereka untuk masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kunci dari pendidikan global adalah perspektif global (Tye 1992, Kasus 1993, Begler 1993 melalui Ibrahim 2001) pengembangan dan promosi global merupakan perspektif yang sangat penting. Hal ini di identifikasi kedalam dua dimensi perspektif global yaitu 'Substantif' dan 'Persepsi'. Dimensi Substantif terdiri dari pengetahuan tentang berbagai fitur dunia dan bagaimana cara kerjanya yang berisi lima unsure antaralain: universal dan nilai-nilai budaya dan praktek-praktek, interkoneksi global, keprihatinan dunia sekarang dan kondisi, asal-usul dan pola-pola masa lalu isu-isu global, dan alternatif yang mengarah pada masa depan global. Dimensi Persepsi mengacu pada berbagai intelektual nilai-nilai, kecenderungan, dan sikap yang memberikan sudut pandang dari mana substantif domain atau konten global dirasakan, Case mengidentifikasi lima unsur pokok dimensi persepsi yaitu: open-minded, antisipasi kompleksitas, perlawanan terhadap stereotip, kecenderungan untuk berempati dan non-chauvinisme (Nirmana, Juli 2002: 99-105). E. Manifestasi Globalisasi Pendidikan Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi tanpa batas (borderless higher education market). Keterbatasan dana yang dialami oleh negara-negara berkembang, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi merupakan tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi di Negara-negara maju, terutama Ameriuka Serikat, Inggeris dan Australia amat agresif memanfaatkan “the new emergiung market” dengan meningkatkan penyediaan layanan pendidikan tinggi, tidak sepenuhnya dengan motif filantropis, tetapi dilandasi pertimbangan for-profit dengan menerima sebanyak mungkin mahasiswa luar negeri yang membayar penuh biaya pendidikannya, mendirikan kampus-kampus cabang di negara lain, waralaba pendidikan atau kesepakatan twinning dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh atau e-learning. WTO mempromosikan jasa pendidikan yang telah diidentifikasi kedalam empat mode penyediaan jasa pendidikan yaitu: 1. Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program disebut Mode1. 2. Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri disebut Mode 2. 3. Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi local disebut Mode 3. 4. Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan local disebut Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju globalisasi dalam bentuk jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. Jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. Globalisasi pendidikan telah memberikan Paradigma baru dalam hal proses pembelajaran, yaitu: • Guru memberikan beberapa arahan kepada badan-badan pengetahuan, tetapi tempat yang lebih besar penekanannya pada aplikasi. • Kelompok belajar merupakan hak istimewa selama belajar individual. • Penekanan pada keragaman perspektif yang dapat dibawa untuk memecahkan masalah, daripada identifikasi satu pendekatan yang benar atau terbaik. • Non-metode kognitif ekspresi didorong untuk merangsang kreativitas dalam solusi dari pemecahan masalah, dan untuk memfasilitasi komunikasi. • Jenis dan belajar mengajar menekankan konstruksi pengetahuan melalui tindakan atas penemuan fakta yang ada. Tujuan mendefinisikan nilai pengetahuan, dan subjektivitas menjadi sama pentingnya dengan objektivitas. F. Starategi Menghadapi Globalisasi Pendidikan Globalisasi atau liberalisasi pendidikan tinggi yang sedang terjadi melalui jalur pasar bebas memang harus dihadapi dengan sangat hati-hati oleh Negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Implikasi jangka panjang dari globalisasi pendidikan tinggi tersebut belum sepenuhnya dapat di prakirakan, dan karena itu kebijakan-kebijakan antisipatif perlu dirancang dengan secermat mungkin agar globalsasi tersebut jangan sampai menghancurkan sector pendidikan tinggi seperti yang terjadi dengan globalisasi sektor pertanian. Agar dampak seperti itu tidak terjadi, negara berkembang perlu merumuskan strategi yang paling tepat sebagai berikut: 1. Bekerjsama dengan berbagai konsorsium universitas-universitas di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropah, India, dan Jaringan Universitas ASEAN. 2. Dalam menyikapi globalisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi, baik pemerintah maupun masyarakat harus mengambil sikap terbuka dan positif. 3. Meningkatkan system akreditisasi nasional menjadi sistem akreditisasi regional dengan memanfaatkan jaringan perguruan tinggi regional, Asean University Network (AUN) dan Association of Southeast Asian Institute of Higher Learning (ASAIHL) untuk mengembangkan system akreditisasi regional. 4. Melakukan pendekatan jaminan mutu dan akreditisasi sesuai standar internasional. UGM merupakan salah satu PTN yang secara serius mengembangkan program jaminan mutu dan menerapkan siklus penuh jaminan mutu. Kegiatan tersebut perlu dilanjutkan dengan program akreditisasi internasional terhadap program studi dan unit penyelenggara kegiatan pendidikan tinggi seperti jurusan dan bagian. Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Tanpa kesiapan nasional tersebut, dikhawatirkan sector pendidikan kita akan menjadi korban dari habungan assimetris atau persaingan yang tidak seimbang dengan penyedia layanan pendidikan dari Negara lain. Dalam menghadapi era globalisasi sekolah-sekolah harus dapat memberikan pendidikan yang membuat siswa memahami dunia ini dengan baik, setidak-tidaknya sekolah memberikan wawasan global serta kesadaraan global yang baik disamping wawasan serta kesadaran nasional. Ada empat wawasan dalam era globalisasi yang tak dapat dipisahkan yaitu: wawasan lokal, nasional, regional, dan internasional (global). Karena ada hal-hal tertentu yang dapat diselesaikan dengan baik kalau kita hadapi secara regional bersama bangsa-bangsa lain dikawasan bersama kita, dan ada juga masalah-masalah yang bersifat global yang dapat diselesaikan dengan baik apabila antara bangsa-bangsa didunia ini benar-benar terdapat kerjasama yang baik. Kemudian dalam pendekatannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Memberikan tugas kepada siswa yang menimbulkan keempat wawasan dengan membuat masalah pendidikan menuju globalisasi menjadi suatu masalah yang tak asing lagi baik bagi siswa maupun bagi guru. 2. Menata keempat jenis wawasan secara konsentris.
»»  READMORE...

Kamis, 20 Oktober 2011

TUGAS DAN PERAN GURU DALAM KTSP

A. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
     Salah satu perubahan mendasar dalam bidang pendidikan nasional adalah lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan (SNP). Opini beserta penjabarannya dalam Permendiknas dijadikan pedoman oleh semua pihak dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan melakukan evaluasi pendidikan termasuk dalam implementasi KTSP. Seorang guru dalam menjalankan perannya sebagai pengajar, pembimbing, pendidik, dan pelatih bagi para siswa, tentunya dituntut untuk memahami dan menguasai tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang – orang yang terkait dengan dirinya, terutama perilaku siswanya dengan segala aspek, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif dan efisien yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan.
     Menyikapi peluang dan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa sekarang dan mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Sebagai mana terletak dalam undang – undang guru dan dosen (pasal 1, ayat 1 dan 3) sebagai berikut:
Ayat 1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Ayat 3. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 

     Dalam kenyataannya kondisi kesejahteraan guru yang tidak mencukupi, guru akan terdorong untuk banyak memberi perhatian pada kegiatan lain diluar tugas pokoknya sebagai kondisi yang memaksanya secara kurang efektif dan kurang efisien. Perhatian tersebut langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengabdian, loyalitas dan dedikasi guru, yang tidak dapat dielakkan karena tuntutan mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan diri dan keluarganya masing – masing. Kenyataan menunjukkan dalam kondisi kesejahteraan guru yang relative rendah, kerap kali guru tidak dapat mengatasi kekurangan fasilitasnya, bukan karena tidak kreatif dan rendah inisiatifnya, tetapi sudah kehabisan waktu untuk kepentingan mengatasi kesulitan ekonominya memenuhi kebutuhan keluarganya.
     Setelah guru pada saat sekarang ini dalam menerapkan KTSP mendapatkan dukungan institusional, sehingga selanjutnya yang perlu dipersiapkan guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi otonomi professional keguruan.

2. KEMANDIRIAN GURU
     Guru merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perubahan kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran. Sebab bagaimanapun baiknya suatu kurikulum jika tidak ditunjang oleh pemahaman dan kompetensi guru maka dalam implementasinya disekolah akan menemukan kegagalan, bahkan kurikulum tersebut akan “layu sebelum berkembang”. Oleh karena itu, untuk menyukseskan implementasi KTSP perlu ditunjang oleh guru yang berkualitas, yang mampu menganalisis, menafsirkan dan mengaktualisasikan pesan – pesan kurikulum ke dalam pribadi peserta didik. 

Menurut Oemar Hamalik (2004) mengatakan bahwa ada beberapa syarat menjadi guru profesional, yaitu harus memliki:
1. Bakat sebagai guru
2. Keahlian sebagai guru
3. Kepribadian yang baik dan terintegrasi
4. Mental yang sehat
5. Berbadan sehat
6. Pengalaman dan pengeahuan yang luas
7. Guru adalah manusia berjiwa pancasila
8. Guru adalah seorang warga negara yang baik

Berdasarkan keprofesionalan guru tersebut, menurut Hamalik ada beberapa yang menjadi tanggung jawab guru yaitu:
1. Guru harus menuntut siswanya belajar, maksudnya adalah guru harus merencanakan pembelajaran dan juga harus membimbing siswanya agar memperoleh keterampilan – keterampilan, pemahaman, perkembangan berbagai kemampuan, kebiasaan – kebiasaan yang baik, dan perkembangan sikap yang serasi.
2. Turut membina kurikulum sekolah, maksudnya adalah guru harus mengetahui tentang kebutuhan kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
3. Melakukan pembinaan terhadap diri siswa ( kepribadian, watak, dan jasmaniah). Dalam hal ini, guru mengembangkan watak dan kepribadian siswanya sehingga mereka memiliki kebiasaan, sikap, cita – cita, berpikir dan berbuat, berani dan bertanggung jawab, ramah dan mau bekerja sama, bertindak atas dasar nilai – nilai moral yang tinggi.
4. Memberikan bimbingan kepada siswa, agar siswa mampu mengenal dirinya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, mampu menghadapi kenyataan dan memiliki stamina emosional yang baik.
5. Melakukan diagnosa atas kesulitan – kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar siswa. Oleh karena itu, guru bertanggung jawab menyesuaikan semua situasi belajar dengan minat, latar belakang, dan kematangan siswa dan dalam penilaiannya guru harus mampu menyusun tes objektif, menggunakannya secara inteligen, melakukan obervasi secara kritis serta melaksanakan usaha – usaha perbaikan (remedial), sehingga siswa mampu menghadapi masalah – masalah sendiri dan tercapainya perkembangan pribadi yang seimbang.
6. Menyelenggarakan penelitian, karena seorang guru bergerak dalam bidang ilmu kependidikan. Jadi seorang guru harus senantiasa memperbaiki cara bekerjanya. Tidak cukup melakukan sebagai rutinitas saja, melainkan juga harus berusaha menghimpun banyak data melalui penelitian yang kontinu dan intentsif.
7. Mengenal masyarakat dan ikut serta aktif, hal ini dilakukan agar guru dapat memahami dengan baik tentang pola kehidupan, kebudayaan, minat, dan kebutuhan masyarakat sehingga guru dapat mengenal siswa dan menyesuaikan pelajarannya secara aktif karena perkembangan sikap, minat dan aspirasi anak sangat banyak dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya.
8. Menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila, karena pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang mendasari semua sendi – sendi hidup dan kehidupan nasional, baik individu maupun masyarakat kecil sampai dengan kelompok sosial yang terbesar termasuk sekolah.
9. Turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia, jadi guru harus mempersiapkan siswa menjadi warga Negara yang baik memiliki rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Para siswa juga perlu menyadari bahwa persahabatan antar bangsa sangat diperlukan guna memupuk perdamaian dunia.
10. Turut menyukseskan pembangunan. Jadi, dalam hal ini seorang guru harus membantu menciptakan siswa menjadi manusia seutuhnya.
11. Tanggung jawab meningkatkan peranan professional, karena tanpa adanya kecakapan yang maksimal yang dimiliki oleh seorang guru maka kiranya sulit bagi guru mengembangkan dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.

B. PEMBAHASAN
1. IMPELEMENTASI KTSP
     Implementasi KTSP adalah bagaimana menyampaikan pesan – pesan kurikulum kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan karakteristik dan kemampuan masing – masing. Tugas guru dalam implementasi KTSP adalah bagaimana memberikan kemudahan (facilitiate of learning) kepada peserta didik, agar mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan eksternal sehingga terjadi perubahan perilaku sesuai dengan yang dikemukakan salam standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL).

a. Hakikat Implementasi KTSP
     Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Berdasarkan defenisi implementasi tersebut, maka implementasi KTSP adalah sebagai suatu proses penerapan, ide, konsep, dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut Mulyasa (2009) dalam implementasi kurikulum setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
- Karakteristik kurikulum, yang mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna dilapangan.
- Startegi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi yang merupakan kegiatan – kegiatan yang dapat mendorong penggunanya dilapangan.
- Karakteristik pengguna kurikulum, meliputi pengetahuan, keeterampilan, nilai dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum (curriculum planning) dalam pembelajaran.

b. Pelaksanaan Pembelajaran dalam KTSP
     Implementasi KTSP akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran, yakni bagaimana agar isi atau pesan – pesan kurikulum (SK-KD) dapat dicerna oleh peserta didik secara tepat dan optimal. Guru harus berupaya agar peserta didik dapat membentuk kompetensi dirinya sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum, sebagaimana dijabarkan dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP). Dalam hal ini akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik, maka tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku tersebut.
     Menurut Claire Weinstein dan Richard Meyer (1986), dalam implementasi kurikulum yang baik adalah guru harus mengajarkan siswa tentang cara belajar, cara mengingat, cara berpikir dan cara memotivasi diri sendiri, dan hal tersebut lebih ditegaskan lagi oleh Norman yang mengatakan bahwa keberhasilan siswa sangat bergantung pada kemahiran mereka untuk belajar secara mandiri dan untuk memantau cara belajar mereka sendiri. Oleh karena itu seorang guru harus dapat menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan secara efektif dan menyenangkan.
Saylor (Mulyasa, 2009 ) mengatakan bahwa “ instruction is thus the implementation plan, usually, but not necessarily, involving teaching in the sense of student, teacher interaction in an educational setting”. Dalam hal ini, guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat ketika peserta didik belum dapat membentuk kompetensi dasar, oleh karena itu guru harus menguasai prinsip – prinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pengajaran, keterampilan menilai hasil belajar, serta memilih dan menggunakan strategi dan pendekatan pembelajaran.

Pembelajaran KTSP memiliki dua karakteristik yaitu”
1. Dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental peserta didik secara maksimal, bukan hanya menuntut, mendengar, mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas peserta didik dalam proses berpikir.
2. Dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

2. TUGAS DAN PERAN GURU DALAM KTSP
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membimbing peserta didik ke arah kedewasan, kematangan dan kemandirian, sehingga seringkali guru dikatakan sebagai ujung tombak pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru tidak hanya menguasai bahan ajar dan memiliki kemampuan teknis edukatif, tetapi harus juga memiliki kepribadian dan integritas pribadi yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi peserta didik.
KTSP merupakan kurikulum berbasis kompetensi. Menurut Martini Yamin (2009, 75) kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan siswa yang mencakup tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pembelajaran yang berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang memiliki standar, standar yang dimaksud adalah acuan bagi guru tentang kemampuan yang menjadi focus pembelajaran dan penilaian. Jadi, proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan berbasis kompetensi adalah proses pendeteksian kemampuan dasar siswa untuk memudahkan terciptanya suatu tujuan secara teoritis dan praktis.

Pemberian pengalaman belajar yang bertumpu pada KTSP berbasis kompetensi dilaksanakan dengan pendekatan berpusat pada anak sebagai pembangunan pengetahuan, sebagai subjek yang melakukan transformasi belajar bukan sebagai objek yang pasif menunggu instruksi dari gurunya. Proses pembelajaran diselenggarakan dengan memandirikan siswa untuk belajar (seperti yang dikatakan oleh Claire Weinstein dan Richard Meyer), berkolaborasi dengan peserta didik lainnya, mengadakan pengamatan dan menilai hasil belajar sendiri untuk suatu refleksi, mendorong peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Oleh karena itu, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaan. Aspek pedagogis menunjukkan pada kenyataan bahwa pembelajaran berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan, karena itu guru harus mendampingi peserta didik menuju kesuksesan belajar atau penguasaan sejumlah kompetensi. Aspek psikologis menunjukkan pada kenyataan bahwa peserta didik pada umumnya memilik perkembangan yang berbeda, yang menuntut materi yang berbeda pula. Aspek didaktis menunjukkan pada pengaturan belajar peserta didik dalam kelas agar tercipta pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM).
Ada beberapa peran dan tugas guru dalam proses pembelajaran yaitu:
1. Guru sebagai sumber belajar
Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Dikatakan guru yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga ia benar – benar berperan sebagai sumber belajar bagi peserta didik. Apapun yang ditanyakan siswa berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang diajarkannya, ia akan bisa menjawab dengan penuh keyakinan. Ketidakpahaman guru tentang materi pelajaran biasanya ditunjukkan oleh perilaku – perilaku tertentu, misalnya teknis penyampaian materi yang monoton, ia lebih sering duduk dikursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani kontak mata dengan siswa, miskin dengan ilustrasi, dll. Perilaku yang demikian dapat menyebabkan hilangnya kepercayaa pada diri siswa, sehingga guru akan sulit mengendalikan kelas.
Sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran hendaknya guru melakukan tiga hal yaitu;
- Guru memiliki bahan referensi yang lebih banyak daripada siswa. Hal ini untuk menjaga agar guru memiliki pemahaman yang lebih baik tentang materi yang akan dikaji bersama siswa, karena dalam perkembangan teknologis informasi yang sangat cepat bisa terjadi siswa lebih “pintar” dibandingkan guru dalam hal penguasaan informasi.
- Guru dapat menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa.
- Guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran, misalnya dengan menentukan materi inti (core) yang wajib dipelajari oleh siswa, mana materi tambahan. Melalui pemetaan semacam ini akan memudahkan bagi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai sumber belajar.

2. Guru sebagai pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
Berkaitan dengan tanggung jawab, guru harus mengetahui nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran disekolah dan kehidupan bermasyarakat. Berkaitan dengan wibawa, guru harus mampu mengambil keputusan secara mandiri (independent), terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik dan lingkungan. Sedangkan disiplin, guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten atas dasar kesadaran professional, karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan peserta didik disekolah, terutama dalam pembelajaran.

3. Guru sebagai pembelajar
Sekarang ini, perkembangan teknologi mengubah peran guru dari pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar karena, peserta didik bisa belajar dari berbagai sumber yaitu; radio, telivisi, berbagai macam film pembelajaran bahkan program internet atau e – learning.

4. Guru sebagai pembimbing
Guru diharapkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Jadi, sebagai pembimbing guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan perjalanan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Semua itu dilakukan berdasarkan kerjasama dengan peserta didik, tetapi guru memberikan pengaruh dalam aspek setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakan. Istilah perjalanan merupakan suatu proses belajar, baik dalam kelas maupun diluar kelas.
[
5. Guru sebagai pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, karena tanpa latihan pesert didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru harus berperan sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar, sesuai dengan potensi masing – masing. Pelatihan yang dilakukan harus juga memperhatikan perbedaan individual peserta didik dan lingkungan.

6. Guru sebagai penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat. Agar guru menyadari perannya sebagai penasehat secara lebih mendalam makaa ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental. Pendekatan psikologis dan kesehatan mental akan banyak menolong guru dalam menjalankan perannya sebagai penasehat, yang telah banyak dikenal bahwa ia banyak membantu peserta didik untuk dapat membuat keputusan sendiri.

7. Guru sebagai agen pembaharu (innovator)
Inovasi pendidikan dilakukan guna memecahkan masalah yang dihadapi, agar dapat memperbaiki mutu pendidikan secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk peran serta yang dapat dilakukan guru terhadap inovasi adalah sebagai agen pembaharuan. Oleh karena itu, guru harus mampu menerjemahkan pengalaman yang telah lalu kedalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain maka guru menjadi jembatan jurangn tersebut bagi peserta didik, jika tidak maka hal ini dapat mengambil bagian dalam proses belajar yang berakibat tidak menggunakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

8. Guru sebagai model dan teladan
Guru merupakan model dan teladan bagi peserta didik. Oleh karena itu, pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang disekitar lingkungannya. Ada beberapa hal yang mendapat perhatian guru dalam perannya sebagai model dan teladan yaitu; penggunaan gaya bahasa guru dalam berbicara, gaya kebiasaan guru bekerja, sikap guru melalui pengalaman dan kesalahan yang dilakukan, pakaian yang menampakkan ekspresi seluruh kepribadian, hubungan kemanusiaan (dalam hal pergaulan, intelektual moral, terutama bagaimana berperilaku), proses berpikir dalam hal menghadapi dan memecahkan masalah, dalam hal pengambilan keputusan, kesehatan (semangat, sikap tenang, antusias dll).
Mengimplementasikan peran dan tugas guru tersebut dalam KTSP dalam kelas akan ditemukan hambatan – hambatan, salah satunya yang sering kali terjadi datangnya dari siswa seperti mengganggu temannya yang sedang belajar, hal ini terjadi karena kekurang sandaran peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai anggota kelas. Oleh karena itu, sebaiknya guru membuat perjanjian dengan siswa mengenai peraturan dan prosedur dalam kelas pada awal tahun secara bersama – sama.
Menurut Emmer, Evertson, dan Worsharn (2003) mengatakan bahwa aturan-aturan dan prosedur berbeda-beda di setiap kelas tetapi yang pasti di semua kelas aturan – aturan dan prosedur dikelola secara efektif, karena tidak mungkin bagi seorang guru atau bagi siswa dalam melakukan instruksi agar dapat bekerja secara produktif jika mereka tidak mempunyai pedoman dan prosedur tidak yang efisien dan tidak adanya rutinitas untuk aspek umum dalam kelas dapat menghambat poses pembelajaran dan menyebabkan perhatian siswa serta minatnya memudar. Oleh karena itu, sangat penting menegakkan peraturan dan prosedur dalam kelas seperti yang disebutkan dihampir setiap diskusi tentang pengelolaan kelas yang efektif. Tahapan – tahapan yang dapat dilakukan dalam membuat peraturan dan prosedur dalam kelas adalah:
- Guru harus mempertimbangkan desain fisik ruang kelas sebelum siswa datang ke kelas.
- Membuat aturan dan prosedur dalam kelas bersama – sama dengan siswa.
- Berinteraksi dengan siswa Tentang Kelas Aturan dan Prosedur.
- Mereview secara berkala Aturan dan Prosedur.
- Membuat rapat kelas yang dapat berguna dalam menyusun desain dan pemeliharaan peraturan dan prosedur.


C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
     Menyikapi peluang dan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa sekarang dan mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu, kondisi kesejahteraan guru harus dipenuhi agar guru terdorong untuk banyak memberi perhatian kepada anak didiknya dan lebih mempersiapkan diri dalam proses pembelajaran sehingga kondisi proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien. Guru merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perubahan kurikulum dan implementasinya dalam pembelajaran.
     Dalam implementasi kurikulum yang baik adalah guru harus mengajarkan siswa tentang cara belajar, cara mengingat, cara berpikir dan cara memotivasi diri sendiri. Proses pembelajaran berbasis kompetensi adalah proses pendeteksian kemampuan dasar siswa untuk memudahkan terciptanya suatu tujuan secara teoritis dan praktis. Jadi, seorang guru harus dapat menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan secara efektif dan menyenangkan. Oleh karena itu, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaan.

2. SARAN
     Untuk meningkatkan keprofesionalan guru, maka guru harus memahami peran dan tugasnya sebagai seorang guru yaitu sebagai sumber belajar, pendidik, pembelajar, pembimbing, pelatih, penasehat, agen pembaharu (innovator) serta sebagai model dan teladan.


DAFTAR PUSTAKA

Hamalik Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta
Hamalik Oemar. 2007. Implementasi Kurikulum. Yayasan Al- Madani Terpadu: Bandung
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan. GP PRESS: Cipatut
Marzano, Robert J. 2007. The Art and Science of Teaching. ASCD. New York
Mulyasa. 2009. Implementasi KTSP Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Bumi aksara: Jakarta
Mulyasa. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan. PT. remaja Rosdakarya: Bandung
Sagala, Syaiful. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Penerbit Alfabeta: Bandung
Weinstein Claire and Richard Meyer. 1986. Learning and Study Strategies. Mc. Graw Hill: New York
Yamin, Martinis. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas. GP Press. Jakarta
»»  READMORE...

EVALUASI KURIKULUM MODEL COUNTENANCE STAKE

A. Latarbelakang Model Countenance Stake
Menurut Stake sangat jarang ditemukan laporan penelitian yang relevan atau untuk data perilaku berkaitan dengan keputusan akhir kurikuler dan juga jarang ditemukan kegiatan evaluasi formal yang menguraikan kondisi awal dan transaksi dalam kelas. Oleh karena itu, Stake mengembangkan model evaluasi, bukan tentang apa yang harus diukur dan bagaimana cara mengukurnya melainkan sebagai latarbelakang mengembangkan rencana evaluasi. Jadi, model Countenance Stake berorientasi sekitar program pendidikan bukan pada produk pendidikan, karena nilai produk tergantung pada penggunaan program.
Dalam tulisannya Stake memperkenalkan konsep evaluasi yang berorientasi pada sifat dinamis dan kompleks pendidikan, salah satu yang memberikan perhatian yang tepat untuk tujuan beragam dan penilaian dari praktisi. Menurut Stake, tujuan dan prosedur evaluasi pendidikan akan bervariasi misalnya Apa yang cukup tepat untuk satu sekolah mungkin kurang tepat bagi orang lain.

B. Konsep Model Countenance Stake
Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian Countenance adalah keseluruhan, sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable). Menurut Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut, karena Stake melihat adanya ketidak-sesuaian antara harapan penilai dan guru. Penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian. Jadi, menurut Porvus model Countenance Stake dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar siswa dan data pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, jugment data harus dikumpulkan. Sedangkan menurut Howard, H (2008) evaluasi Stake’s orientasinya adalah tujuan dan pendekatan mekanik dalam program pendidikan. Oleh karena itu, Kemble & Charles (2010) mengatakan bahwa model countenance stake sangat berpengaruh pada program pendidikan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian “checklist, structured visitation by peers, controlled comparisons, and standardized testing of students” (Hasan, 2008, 207). Dalam hal checklist Shepard (1997) menyebutkan bahwa terdapat lima ketegori yaitu:
- Obyektivitas atau tujuan evaluasi.
- Spesifikasi program meliputi filsafat pendidikan yang dianut pada mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan lain sebagainya.
- Outcome program, seperti pengalaman belajar, pencapaian hasil siswa.
- Hubungan dan indikator mencakup kongruensi kenyataan dan harapan, kontingensi meliputi sebab akibat.
- Judgment nilai.
Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa model Countenance stake bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak.
Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model ini stake sangat menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi pengukuran behavioristik dan kuantitatif. Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standard dan pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga fokus yaitu:
a. Antecedents yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang mungkin berhubungan dengan hasil, contohnya: latar belakang guru, Kurikulum yang sesuai, Ketersediaan sumber daya.
b. Transaction yaitu pertemuan dinamis yang merupakan proses instruksi (kegiatan, proses, dll), contohnya: interaksi guru dan siswa, Komponen partisipasi
c. Outcomes yaitu efek dari pengalaman pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru, Peningkatan kinerja.

1. Matriks Deskripsi
Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan pengembang kurikulum atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu. Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain sebagainya dari peserta didik.
Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan pada kategori yang pertama. Kategori ini juga sebagaimana yang pertama terdiri atas antecendents, transaksi , dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi , dan hasil yang ada di suatu satuan pendidikan.

2. Matriks Pertimbangan
Terdiri atas kategori standard dan pertimbangan, dan fokus antecendents, transaksi, dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki kurikulum, tetapi dapat juga dari yang lain (pre-ordinate, mutually adaptive, proses).Kategori kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori yang pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan. Keseluruhan matriks yang mendukung model Stake ini terdiri dari 12 kotak.

C. Prosedur Pelaksanaan Evaluasi
Cara kerja model evaluasi Stake, evaluator mengumpulkan data mengenai apa yang diinginkan pengembang program baik yang berhubungan dengan kondisi awal, transaksi, dan hasil. Data dapat dikumpulkan melalui studi dokumen dapat pula melalui wawancara.
Analisis logis diperlukan dalam memberikan pertimbangan mengenai keterkaitan antara prasyarat awal, transaksi, dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan apakah prasyarat awal yang telah dikemukakan pengembang program akan tercapai dengan rencana transaksi yang dikemukakan. Atau sebetulnya ada model transaksi lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang diharapkan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis logis tapi data yang digunakan adalah data empirik.
Pekerjaan evaluator berikutnya adalah mengadakan analisis congruence (kesesuaian) antara apa yang dikemukakan dalam tujuan (inten) dengan apa yang terjadi dalam kegiatan (observasi). Perlu diperhatikan apakah yang telah direncanakan dalam tujuan sesuai dengan pelaksanaanya di lapangan atau terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Apabila analisis contingency dan congruence tersebut telah selesai, maka evaluator menyerahkannya kepada tim yang terdiri dari para ahli dan orang yang terllibat dalam program. Tim ini yang akan meneliti kesahihan hasil analilsis evaluator dan memberikan persepsinya mengenai faktor penting baik dalam contingency maupun congruence. Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji. Untuk itu, evaluator memerlukan standar.
Menurut Woods (1988) dalam melakukan evaluasi sebelum melakukan pengumpulan data, maka para evaluator harus bertemu terlebih dahulu untuk membuat kerangka acuan yang berhubungan dengan antecedents, transaksi dan hasil. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk memperjelas tujuan evaluasi tetapi juga untuk melihat apakah model Countenance Stake’s konsisten terhadap transactions yang dimaksud dengan antecendent dan outcome.

D. Kelebihan Dan Kelemahan
Menurut Howard, E (2008), kelebihan dan kelemahan evaluasi model Countenance Stake’s adalah:
 Kelebihannya adalah:
1. Dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani oleh evaluator.
2. Upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita yang mungkin terjadi.
3. Memiliki potensi besar untuk memperoleh wawaasan baru dan teori-teori tentang lapangan dan program yang akan di evaluasi.
 Kelemahannya adalah:
1. Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
2. Terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument pengumpulan data dan evaluasi kuantitatif.
3. Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.
Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa kelebihan evaluasi model Countenance Stake antaralain adalah:
1. Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang program, proses dan hasil yang merupakan perluasan ruang lingkup evaluasi pada tahun 1970-an.
2. Evaluator memegang kendali dalam evaluasi dan juga memutuskan cara yang paling tepat untuk hadir dan menggambarkan hasil
3. Fokus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu meningkatkan komunikasi antara evaluator dan stakeholder.
Sedangkan Menurut Robinson (2006) kelebihan model Countenance Stake yaitu bahwa model tersebut memiliki kehatian-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai aspek yang bervariasi. Model ini juga dapat memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam mengenai semua aspek program pembelajaran, yang tidak hanya memnugkinkan evaluator untuk menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan konsekuensi dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk memberikan rekomendasi dan judgment yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran. Depwell, F & Glynis. (2008) kekuatan model Contenance Stake adalah di akomodasi dan penataan berbagai tingkat data. Dalam evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data kualitatif dan kuantitatif, formal dan informal, primer dan sekunder. Dalam model countenance stake semua data diolah sesuai dengan kategori melayani dalam matriks. Woods (1988) mengatakan bahwa kekuatan model countenance stake adalah cara dan tindakannya pasti dan dapat diamati secara bersamaan antara standard dan judgement.

E. Contoh evaluasi model Countenance Stake
Salah satu Contoh evaluasi model Countenance Stake adalah yang dilakukan oleh Muliayati, yaitu:

a. Judul: Evaluasi Program Pendidikan Sistem Ganda: Suatu Penelitian Evaluatif Berdasarkan Stake’s Countenance Model Mengenai Program Pendidikan Sistem Ganda Pada Sebuah SMK di Kota Makassar.

b. Latar Belakang Masalah:
Memasuki kerjasama ekonomi Negara-negara Asia Tenggara melalui Kawasan Perdagangan Bebas Asean (Asean Free Trade Area/AFTA) sejak tahun 2003 dan pasar bebas dunia tahun 2020 akan menimbulkan persaingan ketat baik barang jadi/komoditas maupun jasa. Ini berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing baik mutu hasil produksi maupun jasa. Peningkatan daya saing ini dimulai dari penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan yang dimaksud. Jika kita tidak bisa mengantisipasi persiapan SDM yang berkualitas antara lain, berpendidikan, memiliki keahlian dan keterampilan terutama bagi tenaga kerja dalam jumlah yang memadai, maka Indonesia akan menjadi korban perdagangan bebas. Oleh karena itu, negara kita perlu menyiapkan SDM pada tingkat menengah yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan industri atau dunia usaha.
Kepala Badan Pusat Statistik Jakarta menyatakan, bahwa Jumlah angkatan kerja yang menganggur hingga Februari 2005 mencapai10,9 juta orang. Tambahan pengangguran terjadi karena peningkatan angkatan kerja lebih besar daripada ketersediaan lapangan kerja. Jumlah angkatan kerja bertambah 1,8 juta orang yakni dari 104 juta orang pada Agustus 2004 sampai dengan Februari 2005 meningkat menjadi 105,8 juta orang (Maksum, 2005:1). Di Sulawesi Selatan pada akhir tahun 2002 dari sekitar 3,14 juta penduduk tercatat sekitar 0,12% juta orang (3,75%) adalah angkatan kerja sedang pencari pekerjaan sekitar 117.296 orang meningkat sebesar 35,71%. Hal ini menunjukkan bahwa lowongan pekerjaan belum dapat menampung seluruh pencari kerja (Marsudi, dkk, 2008:1). Hal senada disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (Yudhoyono, 2006:1), bahwa pemerintah juga menargetkan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi jumlah tingkat pengangguran yang saat ini berkisar 10,24 persen dari total angkatan kerja. Oleh karena itu perlu ada reformasi dalam sistem pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang siap kerja. Jika tidak, maka pendidikan hanya menghasilkan pengangguran baru yang tidak terserap di lapangan kerja.
Berkaitan dengan keterserapan SMK di dunia kerja, menurut (Samsudi, 2008:1) dalam pidato Dies Natalis ke-43 Unnes mengatakan, idealnya secara nasional lulusan SMK yang bisa langsung memasuki dunia kerja sekitar 80-85%, sedang selama ini yang terserap baru 61%. Pada tahun 2006 lulusan SMK di Indonesia mencapai 628.285 orang, sedangkan proyeksi penyerapan atau kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK tahun 2007 hanya 385.986 atau sekitar 61,43%.
Menghadapi kondisi tersebut di atas, pendidikan menengah kejuruan diperhadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain: masalah konsepsi, program dan operasional pendidikan. Jika masalah ini dilihat dari segi konsepsi, maka dapat digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) pendidikan kejuruan berorientasi pada pasokan (supply driven oriented), tidak pada permintaan (demand-driven); (2) program pendidikan kejuruan hanya berbasis sekolah (school-based program); (3) tidak adanya pengakuan terhadap pengalaman belajar yang diperoleh sebelumnya (no recognition of prior learning); (4) kebuntuan (dead-end) karier tamatan SMK; (5) guru-guru SMK tidak berpengalaman industri (no industrial experience); (6) adanya tanggapan keliru bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdikbud/ Depdiknas; (7) pendidikan kejuruan lebih berorientasi pada lapangan kerja sector formal; dan (8) ketergantungan SMK kepada subsidi pemerintah terutama dibidang pembiayaan (Soenaryo, 2002:223).
Di Sulawesi Selatan terdapat 186 SMK yang terdiri dari 44 sekolah negeri dan 142 sekolah swasta (Statistik Persekolahan SMK, 2004:63). Dari jumlah SMK di Sulawesi Selatan tesebut, seluruhnya melaksanakan PSG sesuai dengan program sekolah masing-masing. Salah satu SMK yang telah melaksanakan PSG sejak tahun 1999 adalah SMK Negeri 4 Makassar yang sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah visi dan misi yang telah ditetapkan bisa tercapai atau tidak. Evaluasi yang dilakukan baru dari aspek menilai hasil belajar peserta didik yang berupa EBTA, Uji Kompetensi, EBTANAS, UAN/UN dan Ujian Nasional Komponen Produktif dengan pendekatan project work (kerja proyek) untuk mata diklat produktif, akan tetapi evaluasi program secara keseluruhan belum pernah dilakukan. Untuk melihat efektivitas pelaksanaan program tidak hanya dilihat dari factor siswanya saja tetapi faktor-faktor lain harus diperhatikan juga. Misalnya; guru, kurikulum, sarana dan prasarana, pembiayaan, kegiatan belajar mengajar disekolah, kegiatan praktik kerja di industri, hubungan industri atau institusi pasangan dan faktor lainnya. Dari permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam berupa evaluasi program “Pendidikan Sistem Ganda” (PSG) pada SMK Negeri 4 Makassar.

c. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian ini menitik beratkan pada evaluasi pelaksanaan program yaitu bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pendidikan sistem ganda berdasarkan standar objektif atau kriteria yang telah ditentukan ditinjau dari tahapan-tahapan masukan (antecedents), proses (transactions), dan hasil (outcomes).

d. Pertanyaan Penelitian:
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi pertanyaa penelitiannya adalah:
1. Bagaimanakah prosedur rekruitmen peserta didik, persyaratan administrasi guru produktif, pengembangan kurikulum dengan keterlibatan industri/asosiasi, kalender pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah dan di industri (institusi pasangan) sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan yang ditetapkan, serta pembiayaan pelaksanaan program sistem ganda pada tahapan masukan (Antecedents) di SMKN 4 Makassar?
2. Bagaimanakah kegiatan pembelajar di sekolah yang terdiri dari; penguasaan guru dalam penyiapan administrasi/bahan pembelajaran, penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran,interaksi guru dan siswa, pengelolaan praktek kerja siswa; dan bagaimana kegiatan pelatihan kerja di industri (institusi pasangan) yang terdiri dari; identitas industri; kompetensi instruktur; dan proses praktek kerja di industry (institusi pasangan), pelaksanaan program pendidikan sistem ganda pada tahapan proses (transactions) SMKN 4 Makassar?
3. Bagaimanakah hasil ujian nasional, hasil ujian nasional komponen produktif dengan pendekatan project work; dan sertifikasi; dan keterserapan tamatan di dunia kerja pada tahapan hasil (outcomes) di SMKN 4 Makassar?

e. Tujuan Penelitian:
Berdasarkan pertanyaan evaluasi diatas maka tujuan evaluasi ini adalah:
1. Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan system rekruitmen peserta didik, persyaratan administrasi guru, kurikulum dengan keterlibatan industri/asosiasi, realisasi kalender pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah dan di industri (institusi pasangan) sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan yang ditetapkan, serta pembiayaan pelaksanaan program sistem ganda pada tahapan masukan (antecedent) di SMKN 4 Makassar.
2. Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan penguasaan guru dalam penyiapan administrasi/bahan pembelajaran, penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran, Interaksi guru dengan peserta didik, dan pengelolaan praktek kerja industri di sekolah sedangkan di di industri (institusi pasangan) mencakup; identitas industri, kompetensi instruktur dan proses praktek kerja siswa di industry (institusi pasangan) pelaksanaan program PSG pada tahapan proses (transactions) di SMKN 4 Makassar.
3. Mengetahui efektivitas program PSG yang berhubungan dengan hasil ujian nasional dan uji nasional komponen produktif dengan pendekatan project work dan sertifikasi, dan keterserapan tamatan pada dunia kerja, pada tahapan hasil (outcomes) di SMKN 4 Makassar.

f. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pendidikan kejuruan baik secara teoretis maupun praktis;
1. Teoretis, diharapkan berguna sebagai bahan untuk memperjelas konsepsi tentang program Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
2. Praktis, dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan informasi kepada pihak pengambil keputusan dalam menyelenggarakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), yaitu; (a) Kepala SMKN 4 Makassar sebagai penyelenggara program pendidikan sistem ganda (PSG); (b) Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan melalui Kepala Sub Dinas Pendidikan Kejuruan Provinsi Sulawesi Selatan; (c) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar; d) Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional; (e) Industri (institusi pasangan) sebagai pihak yang menerima siswa praktek kerja;
3. Siswa yang mengikuti Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
4. Menjadi contoh atau model Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Bidang Keahlian Pariwisata atau Bidang Keahlian lainnya pada SMK.
5. Memberikan kontribusi berarti bagi pengembangan khasanah ilmu pendidikan khususnya Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

g. Tinjauan Teoritis:
1. Pengertian Evaluasi
Berbagai macam evaluasi yang dikenal dalam bidang kajian ilmu. Salah satunya adalah evaluasi program yang banyak digunakan dalam kajian kependidikan. Evaluasi program mengalami perkembangan yang berarti sejak Ralph Tyler, Scriven, John B. Owen, Lee Cronbach, Daniel Stufflebeam, Marvin Alkin, Malcolm Provus, R. Brinkerhoff dan lainnya. Banyaknya kajian evaluasi program yang membawa implikasi semakin banyaknya model evaluasi yang berbeda cara dan penyajiannya, namun jika ditelusuri semua model bermuara kepada satu tujuan yang sama yaitu menyediakan informasi dalam kerangka “decision” atau keputusan bagi pengambil kebijakan.
Terdapat beberapa definisi tentang evaluasi yang dikemukan oleh pakar, diantaranya: (Kufman and Thomas, 1980:4) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses yang digunakan untuk menilai. Hal senada dikemukakan oleh (Djaali, Mulyono dan Ramly, 2000:3) mendefinisikan evaluasi dapat diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau standar objektif yang dievaluasi. Selanjutnya (Sanders, 1994:3) sebagai ketua The Joint Committee on Standars for Educational Evaluation mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan investigasi yang sistimatis tentang kebenaran atau keberhasilan suatu tujuan.
Evaluasi program menurut Joint Commite yang dikutip oleh (Brinkerhof, 1986:xv)f adalah aktivitas investigasi yang sistematis tentang sesuatu yang berharga dan bernilai dari suatu obyek. Pendapat lain (Denzin and Lincoln, 2000:983) mengatakan bahwa evaluasi program berorientasi sekitar perhatian dari penentu kebijakan dari penyandang dana secara karakteristik memasukkan pertanyaan penyebab tentang tingkat terhadap mana program telah mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya menurut(McNamara, 2008:3) mengatakan evaluasi program mengumpulkan informasi tentang suatu program atau beberapa aspek dari suatu program guna membuat keputusan penting tentang program tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil dijadikan sebagai indikatorindikator
penilaian kinerja atau assessment performance pada setiap tahapan evaluasi dalam tiga kategori yaitu rendah, moderat dan tinggi (Issac and Michael, 1982:22).
Berangkat dari pengertian di atas maka evaluasi program merupakan suatu proses. Secara eksplisit evaluasi mengacu pada pencapaian tujuan sedangkan secara implisit evaluasi harus membandingkan apa yang telah dicapai dari program dengan apa yang seharusnya dicapai berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Dalam konteks pelaksanan program, kriteria yang dimaksud adalah kriteria keberhasilan pelaksanaan dan hal yang dinilai adalah hasil atau prosesnya itu sendiri dalam rangka pengambilan keputusan. Evaluasi dapat digunakan untuk memeriksa tingkat keberhasilan program berkaitan dengan lingkungan program dengan suatu “judgement” apakah program diteruskan, ditunda, ditingkatkan, dikembangkan, diterima atau ditolak.

2. Pendidikan Sistem Ganda
Pendidikan sistem ganda (dual system) sudah berkembang lama di beberapa negara. Kerjasama antara Republik Arab Mesir dan Republik Federasi German berlangsung puluhan tahun yaitu sejak tahun 1950an keduanya telah bekerjasama dibidang pendidikan teknik dan pelatihan kejuruan. Pendidikan sistem ganda berkaitan dengan sistem pendidikan yang menekankan pendidikan teori dan praktek. Berabad-abad yang lalu, Jerman telah mengadopsi suatu system pendidikan sistem ganda dengan beberapa modifikasi dijalankan untuk mengatasi perubahan dalam masyarakat dan memenuhi permintaan masyarakat.

a. Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian professional tertentu (Djojonegoro, 1999:46). Sedangkan menurut (Wena: 1997:30) mengatakan bahwa pemanfaatan dua lingkungan belajar di sekolah dan di luar sekolah dalam kegiatan proses pendidikan itulah yang disebut dengan program PSG. Hal senada dikemukan oleh (Nasir, 1998:21) mengatakan bahwa Pendidikan Sistem Ganda (PSG) ialah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang memadukan program pendidikan di sekolah dan program pelatihan di dunia kerja yang terarah untuk mencapai tujuan pendidikan kejuruan. Sedangkan pendidikan system ganda (dual system) adalah memadukan pelatihan kejuruan paruh waktu dikombinasikan dengan belajar paruh waktu. (The Educational System in Germany, 1999:1).
Dari pengertian diatas, tampak bahwa PSG mengandung beberapa pengertian, yaitu: (1) PSG terdiri dari gabungan subsistem pendidikan di sekolah dan subsistem pendidikan di dunia kerja/industri; (2) PSG merupakan program pendidikan yang secara khusus bergerak dalam penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional; (3) penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan dunia kerja/industry dipadukan secara sistematis dan sinkron, sehingga mempu mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan; dan (4) proses penyelenggaraan pendidikan di dunia kerja lebih ditekankan pada kegiatan bekerja sambil belajar (learning by doing) secara langsung pada keadaan yang nyata.

b. Tujuan Pendidikan Sistem Ganda
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG bertujuan: (1) menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja; (2) meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan/kecocokan (link and match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan dunia kerja; (3)meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional dengan memanfaatkan sumberdaya pelatihan yang ada di dunia kerja; (4) memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan (Djojonegoro, 1999:75).

c. Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pelaksanaan PSG pada SMK sesuai dengan konsep sistem ganda memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Institusi Pasangan dan (b) Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama yang tediri dari: (1) Standar Kompetensi/Keahlian Tamatan; (2) Standar Pendidikan dan Pelatihan (materi, waktu, pola pelaksanaan); (3) Penilaian dan Sertifikasi; (4) Kelembagaan; dan (5) Nilai Tambah dan insentif.

3. Evaluasi Model Countenance Stake’s
Model evaluasi yang digunakan adalah Stake’s Countenance Model, Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation University of Illinois. Model Stake’s sama dengan model CIPP dan CSE-UCLA (Center for Study of Evaluation at the University of California at Los Angeles) dimana ketiganya cendrung komprehensip dan mulai dari proses evaluasi selama tahap perencanaan dari pengembangan program (Kaufman and Susan, 1980:123). Stake mengidentifikasi 3 (tiga) tahap dari evaluasi program pendidikan dan faktor yang mempengaruhinya yaitu:
1. Antecedents phase; sebelum program diimplementasikan: Kondisi/ kejadian apa yang ada sebelum implementasi program? Apakah kondisi/kejadian ini akan mempengaruhi program?
2. Transactions phase; pelaksanaan program: Apakah yang sebenarnya terjadi selama program dilaksanakan? Apakah program yang sedang dilaksanakan itu sesuai dengan rencana program?
3. Outcomes phase, mengetahui akibat implementasi pada akhir program. Apakah program itu dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan? Apakah klien menunjukkan perilaku pada level yang tinggi disbanding dengan pada saat mereka berada sebelum program dilaksanakan? (Kaufman,1982:123). Setiap tahapan tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu description (deskripsi) dan judgment (penilian).


Model Stake akan dapat memberikan gambaran pelaksanaan program secara mendalam dan mendetail. Oleh karena itu persepsi orang-orang yang terlibat dalam sistem pendidikan seperti perilaku guru, peran kepala sekolah, peran industri, perilaku siswa dan situasi proses belajar mengajar di sekolah dan pelatihan kerja di industri adalah kenyataan yang harus diperhatikan.

g. Metodologi Penelitian
1. Metode penelitian
Model penelitian evaluasi yang digunakan yaitu Stake’s Countenance Model yang dikembangkan oleh Robert E. Stake. Evaluasi model ini terdiri dari tiga tahapan/pase yaitu; masukan (antecedents), proses (transactions), dan hasil (outcomes).
Setiap tahapan dibagi menjadi dua tahapan yaitu deskripsi (description) dan keputusan/penilaian (judgment), Model Stake ini berorientasi pada pengambilan keputusan (decision oriented) dan teknik pengambilan keputusan aktualitas pada setiap tahap evaluasi atau aspek dengan cara melakukan pengukuran pada setiap fokus evaluasi yang dirangkum dalam matrik yang diadaptasikan dalam caseorder effect matrix (Sabarguna, 2005:27).

2. Popoulasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian evaluasi ini adalah sekolah SMK yang ada di Makassar dan sampelnya adalah SMK Negeri 4 Makassar. Alasannya adalah karena sekolah tersebut telah melaksanakan program PSG dan hanya satu-satunya sekolah Bidang Bisnis dan Manajemen Program Keahlian Usaha Jasa Pariwisata di Sulawesi Selatan.

3. Waktu evaluasi
Waktu penelitian dimulai dari bulan April 2005 sampai dengan Februari 2007. Sedangkan penyusunan laporan dilakukan sejak awal penelitian.


4. Desain Evaluasi
Berdasarkan teori stake’s diatas, maka dikembangkan desain penelitian sebagai berikut:

5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Untuk keperluan penelitian ini, pemilihan informan dilakukan secara purposif, yaitu berdasarkan maksud dan tujuan penelitian.
 Kriteria/ Standar objektif dalam evaluasi ini adalah:
a. Masukan (anttecedents):
1. Perekrutan siswa baru dilakukan dengan melalui seleksi dan harus memenuhi persyaratan. Hasil seleksi menunjukkan rata –rata siswa yang diterima adalah siswa yang mendapat nilai yang baik yaitu skor akademis diperoleh dengan rata – rata nilai hasil ujian nasional atau nilai SKHU 6,0 dan seleksi tes kemampuan atau tes penerimaan siswa baru dengan rata – rata 5,0.
2. Guru dan instruktur. Guru memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 atau D4 dan berpengalaman mengajar minimal 2 tahun serta telah mengalami pengalaman diklat atau on the job training, sedangkan instruktur minimal D3 berpengalaman dibidangnya mempunyai pengalaman membimbing minimal 1 tahun menguasai materi latihan kerja dan strategi pembimbingan.
3. Sarana dan prasarana. Keberadaan fasilitas dan bahan praktek harus layak antaralain:
• Prasarana yaitu tersedianya ruang belajar, ruang praktik, aula, lapangan olah raga, kantin, toilet.
• Sarana pendukung belajar meliputi sumber belajar (buku/ modul), media belajar (radio/ tape, TV, OHP, LCD, Komputer) dan teknologi informasi.
• Bahan praktek antaralain format tiket, format laporan, ATK, dan sebagainya.
4. Pembiayaan. Sumber biaya didapat dari dana rutin, dana penunjang pendidikan, dana bantuan oang tua, unit produksi, sharing institusi pasangan.

b. Proses (transactions)
1. Kegiatan pembelajaran disekolah:
• Guru produktif dalam penyiapan administrasi/ bahan pembelajaran mencakup pembuatan program pembelajaran (silabus/ RPP) berdasarkan kompetensi, penyusunan modul pembelajaran berdasarkan kompetensi, penyusunan penilaian/ Uji kompetensi.
• Guru produktif dalam kegiatan pembelajaran antaralain penguasaan materi, pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi (competensi based training) dengan system blok, keterampilan menggunakan media/ metode yang bervariasi, penggunaan modul pembelajaran berdasarkan kompetensi, penggunaan bahan/ peralatan praktek terutama computer/ software, pemberian uji kompetensi setiap akhir pembelajaran dari setiap unit kompetensi, dan pemberian materi remedial tes bagi siswa yang belum kompeten.
• Interaksi dengan siswa, memberikan perhatian kepada siswa, memberikan umpan balik, intensitas umpan balik.
• Pengelolaan praktek kerja siswa dalam hal naskah kerjasama dengan industry penempata kerja siswa dan seminar hasil praktek kerja siswa.
2. Kegiatan pelatihan siswa di insdutri (institusi pasangan). Identitas industry tempat praktek kerja siswa dan pengalaman industry (institusi pasangan) yang menerima siswa praktek selama 1 tahun.
3. Latar belakang pendidikan instruktur minimal D3 atau setara, pengalaman kerja minimal 1 tahun, penguasaan materi dengan praktek kerja siswa strategi/ metode pembimbingan yang bervariasi.
4. Proses pelatihan kerja siswa di industri (institusi pasangan) yaitu pelaksanaan praktek kerja di industry berdasarkan program keahlian siswa minimal empat bulan, keahlian siswa dalam menggunakan peralatan/ bahan praktek kerja, pengisian jurnal oleh siswa dengan lengkap dari pekerjaan yang dilatihkan sebanyak 90%dari jumlah siswa dan monitoring minimal 1x sebulan.

c. Hasil (outcomes/output) antaralain:
1. Prestasi akademik berdasarkan hasil skor Ujian Nasional (UN) yang terdiri dari tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia minimal 50% jumlah tamatan memperoleh nilai ≥ 7.0, Bahasa Inggris minimal 50% jumlah tamatan memperoleh nilai ≥ 7.01, dan Matematika minimal 50% jumlah tamatan memperoleh nilai ≥ 5. 6
2. Ujian Nasional Komponen Produktif dengan pendekatan project work untuk mata pelajaran produktif minimal 90% jumlah tamatan memperoleh nilai ≥ 7.0 dan mendapat sertifikat.
3. Keterserapan tamatan di dunia kerja minimal ≥ 50% dari jumlah tamatan yang lulus uji kompetensi sesuai dengan program keahliannya dengan tenggang waktu enam bulan.

 Berdasarkan Kriteria/Standar objektif tersebut maka focus dari evaluasi ini adalah:
a. Pada tahapan masukan (anttecedents) yang akan di evaluasi antaralain adalah prosedur perekrutan siswa, persyaratan administrasi guru produktif, pengembangan kurikulum dengan keterlibatan industri/ asosiasi, kalender pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah dan di industry (institusi pasangan) yang mendukung ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan dan biaya pelaksanaan program system ganda.
b. Pada tahapan proses (transactions) yang akan dievaluasi antaralain adalah kegiatan proses belajar mengajar yang terdiri dari: penguasaan guru dalam penyiapan adminstrasi/ bahan pembelajaran, penguasaan guru dalam kegiatan pembelajaran interaksi guru dan siswa, pengelolaan praktek kerja siswa dan kegiatan pelatihan kerja di industry (institusi pasangan) yang terdiri dari identitas, kompetensi instruktur, dan proses praktek kerja di industry (institusi pasangan) pelaksanaan program pendidikan system ganda.
c. Hasil (outcomes/output) yang akan dievaluasi antaralain adalah hasil ujian nasional, hasil ujian nasional komponen produktif dengan pendekatan project work; sertifikasi dan keterserapan tamatan di dunia kerja.

h. Hasil Penelitian
1. Masukan (antecedents).
Hasil-hasil analisis evaluative selanjutnya dirangkum pada case-order effect matrix menunjukkan bahwa berdasarkan evaluasi masukan terdapat 6 aspek dan 12 sub aspek, yang telah memenuhi standar objektif yakni 5 aspek dan 9 sub aspek, 1 sub aspek dan 1 aspek yang tidak memenuhi standar objektif yaitu pembiayaan, 1 sub aspek yang bisa ditolerir yaitu pendidikan minimal guru produtif dan 2 sub aspek yang perlu perbaikan yaitu tes wawancara dan keterlibatan industri dalam rekruitmen siswa.

2. Proses (transaction)
Hasil-hasil analisis evaluative selanjutnya dirangkum pada case-order effect matrix menunjukkan bahwa berdasarkan sub evaluasi proses, 7 aspek dan 30 sub aspek. Dari 30 sub aspek ada 27 sub aspek yang memenuhi standar objektif, 1 aspek yang tidak terpenuhi standar objektif tetapi dapat ditolerir yaitu pengisian jurnal siswa dan 2 sub aspek yang perlu perbaikan yaitu penyusunan naskah kerjasama dengan industry (institusi pasangan) dan penilaian praktek kerja siswa.
3. Hasil (outcomes)
Hasil-hasil analisis evaluative selanjutnya dirangkum pada case-order effect matrix menunjukkan bahwa berdasarkan sub evaluasi hasil, terdapat 2 aspek telah memenuhi standar objektif, 1 aspek yang dapat ditolerir yaitu keterserapan tamatan di dunia kerja.

i. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Antecedents (Masukan)
- Pembiayaan system ganda tidak tercapai karena beban pendidikan sebesar 80% persen diambil dari iuran pendidikan. Seharusnya sekolah mencari sumber pendanaan dari lainnya dan tidak mengikat. Salah satunya mengembangkan unit produksi mencari sponsor baik dari alumni ataupun dari masyarakat pada umumnya.
- Perekrutan siswa perlu diperbaiki karena pada prosedur/ system seleksi masih ada yang diterima siswa nilai ujian nasionalnya dibawah standar yang telah ditentukan dan pada tes wawancara tidak melibatkan pihak industri untuk menentukan kelulusan seleksi untuk memberi gambaran profil siswa yang dikehendaki oleh industry baik dari segi kognitif, efektif dan psikomotorik.
- Persyaratan administrasi guru mencapai kriteria atau standar objektif terlihat dari latarbelakang pendidikan guru dan pengalaman guru mengajar.
- Kurikulum pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan kebutuhan industry melalui sinkronasi atau maping kurikulum.
- Kalender pendidikan sistem ganda dibuat selama tiga tahun. Kalender pendidikan dibuat sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan belajar mangajar sehingga pembelajaran berjalan secara efektif.
- Sarana dan prasarana belajar sebagai bagian pendukung yang berpengaruh baik yang langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan program pendidikan sistem ganda.
b. Transaction (Proses)
- Penguasaan guru dalam penyiapan administrasi/ bahan pembelajaran membantu siswa sehingga menjadi lebih mudah belajar.
- Ketercapaian guru dalam penguasaan kegiatan pembelajaran karena adanya dukungan yang kuat dari Kepala Sekolah, ketersediaan fasilitas yang baik di sekolah, pengalaman diklat guru-guru produktif terutama tentang pembelajaran competency based training (CBT) dan competency based assessment (CBA)
yang diselenggarakan oleh Makassar tourism Training Project (MTTP) for Tourism and Travel Department-SMKN 4.
- Interaksi guru dengan siswa dalam pembelajaran mencapai kriteria atau standar objektif terlihat dari guru yang selalu memberikan perhatian dan membantu siswa ketika menghadapi kesulitan dalam belajar.
- Pengelolaan praktek kerja siswa mencapai kriteria atau standar objektif dalam hal penempatan praktek kerja siswa, tetapi dalam hal naskah administrasi tidak tercapai karena ada industry yang mau bekerja sama dengan sekolah tanpa diberikan naskah admininstrasi oleh pihak sekolah.
- Idenstitas industry mencakup tempat praktek kerja siswa dan pengalaman industry menerima praktek kerja mencapai kriteria karena sudah lama membangun kerjasama dengan sekolah.
- Kompetensi instruktur mencapai kriteria atau standar objektif karena hanya satu yang memiliki latarbelakang SMK, tetapi pada umumnya instruktur sudah membimbing lebih dari satu tahun dan menguasai materi secara profesional serta penguasaan strategi yang baik.
- Proses praktek kerja siswa di industri (institusi pasangan) yang tidak mencapai kriteria dan perlu diperbaiki adalah penilaian hasil praktek kerja industry karena prosedur penilaian tidak tepat. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pedoman penilain di industri.
c. Outcome (hasil)
- Dalam keterserapan dunia kerja dapat ditolerir karena industry tidak mengenal sekolah secara dekat dengan segala kompetensi yang dimiliki siswa.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
a. Umum, banyaknya aspek yang mencapai kategori tinggi pada setiap tahapan evaluasi, ini menunjukkan bahwa program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada SMKN 4 Makassar berhasil. Walaupun masih terdapat beberapa sub aspek yang perlu perbaikan. Artinya, keberhasilan tersebut dapat dijadikan acuan sedang yang belum berhasil dijadikan bahan pertimbangan untuk mengoptimalisasikan pelaksanaan PSG.
b. Khusus, beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan untuk penyempurnaan program pendidikan sistem ganda sebagai berikut:
 SMKN 4 Makassar antaralain adalah:
- Sekolah perlu melibatkan secara langsung industri dalam penerimaan siswa baru, membuat naskah kerjasama/ Momorandum of Undersatanding (MOU) dengan industri, meningkatkan kualifikasi pendidikan guru produktif UJP, menyusun program diklat yang dilatihkan di industri (institusi pasangan), menyusun pedoman penilaian praktek kerja, penilaian di industi sepenuhnya dilakukan oleh instruktur dan meningkatkan intensitas monitoring sehingga guru secara tidak langsung akan mendapat pengalaman tentang kesesuaian kompetensi siswa dengan kebutuhan kerja yang ada di industri.
- Pembiayaan pendidikan yang banyak dibebankan kepada siswa kiranya dapat dikurangi dengan memberdayakan sumber daya yang dimiliki sekolah. Bahkan, kalau memungkinkan gratis melalui program pendidikan wajib belajar 12 tahun; dan
- Untuk meningkatkan capaian keterserapan tamatan dapat dilakukan berbagai kegiatan yaitu lebih meningkatkan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training), lebih meningkatkan peran Bursa Kerja Khusus (BKK) yang ada di sekolah, meningkatkan dan mengembangkan kerjasama dengan Association of Indonesia Tours and Travel Agency (ASITA) terutama dalam penyaluran tenaga kerja, Membuat program pendidikan dan pelatihan dengan Mitra Internasional (MI).
 Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Dan Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kota Makassar; (1) Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan PSG di SMKN 4 Makassar, maka sebaiknya memperhatikan hasil penelitian evaluasi ini terutama temuan yang masih memerlukan penyempurnaan, (2) Khusus untuk biaya pendidikan yang banyak dibebankan kepada sekolah sudah saatnya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan atau pemerintah Kota Makassar untuk meningkatkan jumlah biaya pendidikan antara lain melalui program pendidikan wajib belajar 12 tahun. Bila memungkinkan, masuk bagian dari pendidikan gratis.
 Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (PSMK) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional; (1) Melalui Pendidikan Sistem Ganda (PSG) sebagai gabungan subsistem pendidikan di sekolah dan subsistem pendidikan di dunia kerja merupakan sisitem pendidikan kejuruan yang efektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa sesuai dengan kebutuhan kerja. Oleh karena itu, perlu mengintensifkan monitoring, evaluasi dan supervisi serta pembinaan keterlaksanaan program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Bila memungkinkan ada sebuah lembaga yang menangani secara khusus. (2) memanfaatkan hasil penelitian sebagai salah satu bahan kajian untuk pengembangan program Pendidikan Sisten Ganda (PSG).
 Para Peneliti Lain: Perlu dilakukan penelitian lanjutan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian evaluasi program ini baik secara terminal maupun longitudinal tentang program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Khususnya menyangkut efektifitas keterlibatan indusri dalam pelaksanaan pelatihan kerja siswa.
»»  READMORE...

Contoh Anotasi

Evaluasi Kurikulum Model Stake'
 
1. Woods. J. (1988). Curriculum Evaluation Models : Practical Applications For Teachers. Australia: Australian Journal of Teacher Education Vol.13.

Artikel ini menjelaskan bahwa kekuatan model Countenance Stake adalah cara dan tindakan yang dilakukan dalam mengevaluasi sangat pasti, serta antara standart dan judgment dapat diamati secara bersamaan. Model Countenance Stake dikatakan bahwa titik awalnya dalam menentukan “intens” yang dijelaskan dalam Antecedents, Transactions, dan Outcomes. Dimana, Antecendent terkait dengan kondisi sebelum dimulainya kurikulum yang termasuk latarbelakang siswa dan guru. Transaksi merupakan prosedur dan peristiwa yang diharapkan akan terjadi didalam kelas. Sedangkan Outcome merupakan prestasi siswa. Dalam melakukan evaluasi model Countenance Stake sebelum melakukan pengumpulan data, maka para evaluator harus bertemu terlebih dahulu untuk membuat kerangka acuan yang berhubungan dengan Antecedents, Transactions, dan Outcomes. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk memperjelas tujuan evaluasi tetapi juga untuk melihat apakah model Countenance Stake konsisten terhadap transactions yang dimaksud dengan antecendent dan outcome. Dengan cara yang sama, standar yang akan digunakan untuk melihat kesesuaian kurikulum juga didiskusikan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, kuesioner, maupun tes psikomotorik.

2. David & Rennie. (1993). Implementing Technology in the School Curriculum: A Case Study Involving Six Secondary Schools. Australia: Journal of Technology Education, Vol. 5, No. 1.

Artikel ini merupakan penelitian dari kedua penulis yang melakukan evaluasi dengan menggunakan model Countenance Stake terhadap enam sekolah yang telah diberikan dana oleh pemerintah dalam mengembangkan teknologi pendidikan yang dinyatakan sebagai sekolah teknologi pada tahun 1988 dan 1989. Model Countenance Stake yang dilakukan bertujuan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan program sekolah berdasarkan kesesuaian tujuan dari program dan pengamatan terhadap implementasi di sekolah. Efektivitas proses pelaksanaan evaluasi dalam segi: kurikulum yang dimaksud dalam silabus dan metode mengajar; kurikulum yang diterapkan oleh masing-masing sekolah; ketercapaian kurikulum. Penekanan model Countenance Stake merupakan deskripsi dari program masing-masing sekolah dalam konteks Antecedent, Transaction, dan bukan pada hasil siswa.

3. Kadarko, W. (2002). Relevansi Kompetensi Berbahasa Inggris Dengan Kompetensi Yang Dibutuhkan Dunia Kerja: Sebuah Penelitian Sosial Terhadap Kelompok Lulusan Smu Produk Kurikulum 1994 Di Denpasar – Bali. Bali: Jurnal Pendidikan Vol:3, No:1.

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang melakukan evaluasi dengan menggunakan model Countenance Stake dengan tujuan evaluasi untuk melihat relevansi antara kurikulum dengan materi pengajaran yang dibutuhkan siswa sehingga siswa mampu menguasai keterampilan bahasa yaitu membaca, mendengar, berbicara, dan menulis dalam bahasa Inggris khususnya dalam kaitannya dengan misi kepariwisataan masyarakat Bali. Oleh karena itu, model Countenance Stake digunakan untuk menngidentifikasi tingkat relevansi. Dalam penelitian ini focus yang digunakan dengan model Countenance Stake hanya Transaction dan Outcomenya saja, sedangkan Antecedentnya tidak dievaluasi. Jadi yang mau dievaluasi adalah kesesuaian proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa antara kurikulum SMA 1994 dengan misi kepariwisataan propinsi Bali. Dari hasil evaluasi menyatakan bahwa kurikulum di Bali tidak disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarkat, padahal seharusnya kurikulum di kembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat dari daerah tersebut.

4. Delfy, R dan Wahyuni, K. (2007). Kinerja Guru Dalam Melaksanakan Pembelajaran Di Kelas. Jurnal Pendidikan, Volume 8, Nomor 2, September 2007, 110-116.

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang melakukan evaluasi terhadap kemampuan guru dalam mengajar yaitu yaitu (1) pengembangan strategi pembelajaran, (2) pengembangan alat dan bahan ajar serta memanfaatkan media dan sumber belajar, (3) pengembangan alat evaluasi hasil belajar, (4) penyusunan rencana pembelajaran, (5) penciptaan proses belajar yang optimal, (6) peragaan kerja pembelajaran, (7) penilaian proses dan hasil pembelajaran, (8) pengajaran secara profesional, dan (9) penguasaan bidang studi yang diajarkan. Metodologi evaluasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan model Countenance Stake yaitu model evaluasi yang berorientasi pada sebuah kegiatan daripada tujuan. Jadi, informasi tentang kegiatan progam (pembelajaran), karakteristik, dan hasil pelaksanaan program yang akan digunakan sebagai bahan membuat penilaian (Judgement) yang selanjutnya merupakan bahan acuan bagi pembuat keputusan melakukan modifikasi atau perbaikan sebuah program. Berdasarkan hasil evaluasi dari Sembilan hal yang dievaluasi hanya ada empat saja kemampuan guru yang didemonstrasikan dengan baik yaitu pengembangan alat evaluasi belajar, penyusunan RPP, penciptaan proses belajar yang optimal, serta penilaian proses dan hasil pembelajaran.

5. Muliati. (2007). Evaluasi Program Pendidikan Sistem Ganda: Suatu Penelitian Evaluatif Berdasarkan Stake’s Countenance Model Mengenai Program Pendidikan Sistem Ganda Pada Sebuah SMK Di Sulawesi Selatan. Jakarta: UNJ (Doktor).

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang melakukan evaluasi yang yang mencakup persoalan esensial yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan Program Sistem Ganda (PSG) pada SMK. Metodologi yang dilakukan dengan menggunakan model Countenance Stake’s. Model Countenance Stake’s mengidentifikasi 3 (tiga) tahap dari evaluasi program pendidikan dan factor yang mempengaruhinya yaitu antecedents, transactions, dan outcomes. Tahapan Antecedents merupakan tahap sebelum program diimplementasikan yaitu kondisi atau kejadian yang ada sebelum implementasi program dan pengaruhnya terhadap program. Tahapan Transactions merupakan tahap pelaksanaan program yaitu kondisi yang terjadi selama program dan melihat apakah program yang dilaksanakan sesuai dengan rencana program. Tahapan Outcome merupakan akibat implementasi pada akhir program yaitu kesesuaian hasil program yang dilaksanakan dengan yang diharapkan. Setiap tahapan tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu descriptons (deskripsi) dan Judgement (penilaian). Jadi, dengan menggunakan model Countenance Stake’s tergambarlah pelaksanaan program PSG secara mendalam dan detail.

6. Hasan, S.H. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya. 265 Halaman.

Secara garis besar buku ini mengkaji tentang evaluasi kurikulum. Menurut penulis evaluasi kurikulum merupakan suatu aktifitas ilmiah yang memiliki keterkaitan erat dengan proses pengembangan kurikulum. Jadi, evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti dan sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak akan berhasil dengan maksimal. Buku ini terdiri daari 9 Bab, yang dimulai dengan delineasi bidang evaluasi kurikulum; defenisi, tujuan dan fungsi evaluasi kurikulum; landasan evaluasi kurikulum; kriteria evaluasi kurikulum; ruang lingkup evaluasi kurikulum; jenis evaluasi kurikulum; prosedur evaluasi kurikulum; model-model evaluasi kurikulum dan terakhir standar dalam pelaksanaan evaluasi kurikulum. Pada Bab 8 membahas tentang model-model evaluasi kurikulum dan salah satu model yang dibahasa adalah model Countenance Stake’s. model ini merupakan model yang pertama kali dikembangkan oleh Stake yang disesuaikan dengan judul artikel yang ditulis yaitu “Countenance”. Stake mengemukakan bahwa keseluruhan kegiatan evaluasi harus dilakukan dan cara yang diinginkan bagaimana evaluasi tersebut dilakukan. Model Countenance Stake’s terdiri dari dua matriks yaitu matriks deskripsi dan matriks pertimbangan. Setiap matriks terdiri atas dua kategori dan tiga bagian. Matriks deskripsi terdiri atas kategori rencana (intens) dan observasi. Matriks pertimbangan terdiri atas kategori standard an pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga focus penting yaitu Antecedents (keadaan sebelum), Transaksi (proses), dan Hasil (kemampuan yang diperoleh peserta didik).

7. Mohiuddin, S. (2008). An Evaluation Study of Early Childhood Education (ECE). Pakistan: Hamdard University. (Thesis).

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang bertujuan untuk mengevaluasi pendidikan usia dini lembaga pendidikan di Pakistan baik yang didesa maupun yang dikota dengan mengadaptasi model Countenance Stake untuk mendokumentasi dan melaporkan temuan dalam bentuk kualitatif. Evaluasi tersebut dilakukan dalam tiga tahapan yaitu Antecedents, Transactions, dan Outcomes. Pada tahapan Antecedent; Intendednya adalah tujuan pendidikan anak usia dini dan observasinya adalah bagaimana maksud dan harapan yang diterjemahkan kedalam silabus, program dan bahan ajar pendidikan anak usia dini. Tahapan Transactions; Intendednya adalah proses belajar mengajar yang dianggap efektif dalam pendidikan anak usia dini dan Observasinya adalah jenis kurikulum, isi, pengajaran dan implikasi metode pembelajaran pada pendidika anak usia dini. Tahapan Outcomes; Intendednya adalah hasil yang diharapkan dari kurikulum dan Observasinya adalah hasil yang dilakukan yang benar-benar berhasil.

8. Anas, A. (2009). Pelaksanaan Praktek Kerja Industri Siswa SMK Program Keahlian Teknik Bangunan Di Kota Makasar. Makassar: Journal Cakrawala Pendidikan, Juni 2009, Th. XXVIII, No. 2.

Artikel ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap salah satu program pendidikan SMK yang menyiapkan peserta didik menjadi tenaga kerja professional. Jadi, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kesiapan sekolah menengah kejuruan dari segi siswa, sekolah dan industry tempat siswa melakukan praktek, mendeskripsikan pelaksanaan praktek kerja industry dan menggambarkan hasil pelaksanaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model evaluasi Countenance Stake’s yang menekankan pada pengukuran pelaksanaan program dengan criteria yang telah ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan rentang kategori untuk mengukurnya. Kriteria dalam setiap tahapan antaralain adalah Tahapan Antecedent yaitu kesiapan dalam melakukan prakerin dari segi siswa, sekolah, dan industry. Tahapan Transactions yaitu aktivitas selama melakukan prakerin dari segi siswa, guru, dan instruktur. Tahapan Outcomes yaitu hasil dari setiap program studi keahlian teknik terkait dengan kelulusan siswa.

9. Nursa’ban, M. (2010). Evaluasi Pelaksanaan Penilaian Pembelajaran Geografi SMA Di Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Jurnal Cakrawala Pendidikan.

Artikel ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis yang mengevaluasi penerapan kebijakan kurikulum tahun 2006 dan proses penilaian sesuai Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan model Countenance Stake’s untuk membandingkan antara proses penilaian yang berlangsung dalam pembelajaran di lapangan dengan proses penilaian seharusnya sebagai criteria untuk menentukan keberhasilan sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007. Standar evaluasi yang dilakukan berdasarkan distribusi frakuensi yang telah dikategorikan. Sedangkan kriterianya dalam setiap tahapan adalah tahap Masukan (anttecedents) yaitu pemahaman konsep pelaksanaan penilaian oleh guru yang sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 berdasarkan angket. Tahap Proses (transactions) yaitu pelaksanaan penilaian pembelajaran yang dilakukan oleh guru berdasarkan observasi langsung dalam proses pembelajaran mengenai teknik, instrumen, mekanisme, dan proses penilaian oleh pendidik. Tahap Hasil (outcomes/output) yaitu hasil penilaian program pembelajaran berdasarkan angket dan obervasi.

10. Stake, R.E. (1967). The Countenance Of Educational Evaluation. (On-line). http://www.ed.uiuc.edu/circe/Publications/Countenance.pdf. (17 Desember 2010).

Artikel ini merupakan awal dari tulisan Stake dalam mengembangkan salah satu model evaluasi yang dikenal sebagai model Countenance Stake. Menurut Stake Evaluasi pendidikan ada yang bersifat informal dan formal. Evaluasi informal diakui dengan ketergantungan pada pengamatan kasual, tujuan implisit, norma intuitif dan judgement subyektif. Evaluasi formal diakui berhubungan dengan daftar, terstruktur teman sebaya, perbandingan dikendalikan, dan pengujian standar siswa. Oleh karena itu, dalam model Countenance Stake bukan hanya menjelaskan tentang apa yang harus diukur dan bagaimana cara mengukurnya. Jadi, model Countenance Stake lebih bersifat dinamis dan berorientasi pada kompleksitas pendidikan, salah satunya memberikan perhatian terhadap tujuan yang beragam dan penilaian dari praktisi.

11. Stake, R. (1990). This Week Citation Classic. (On-line). http://www.garfield.library.upenn.edu/classics1990/A1990CP63700001.pdf. (17 Desember 2010).

Artikel ini menjelaskan bagaimana Stake mengembangkan model Countenance Stake. Stake mengatakan bahwa evaluasi yang dilakukan oleh para ahli seperti Bloom bertujuan untuk menguji siswa, Jim Popham bertujuan untuk mengevaluasi perilaku, Don Campbell berorientasi pada eksperiment, Lee Cronbach bertujuan untuk membangun instruksional, Stufflebeam bertujuan untuk adminstrasi dan pengambilan keputusan, Michael Scriven bertujuan untuk layanan konsumen. Dari semua model evaluasi yang dilakukan para ahli tersebut, dinyatakan bahwa tidak didapatkan secara keseluruhan pesan yang tersirat dalam evaluasi. Padahal yang terpenting dalam melakukan evaluasi menurutu Stake adalah adanya variable deskriptif yaitu banyaknya option yang ada, ketergantungan desain yang membutuhkan yang berubah dengan seiring waktu yang berlalu dan waktu yang terlalu mudah dibentuk oleh keingintahuan dan bakat evaluator. Oleh karena itu Stake menuliskan “Countenance” sebagai diskusi akhir dari Champaign-Urbana yang menjadikan salah satu model dalam melakukan evaluasi program.

12. Howard, E. (2008). Participant-Oriented Approach: Stake’s Countenance. (on-line). http://www.fivehokies.com/Evaluation/Evaluation%20Approaches/Participant%20Oriented/Stakes%20Countenance%20Brief%20(Emily%20Howard).pdf. (17 Desember 2010).

Artikel ini mengkaji tentang desain dan evaluasi kebijakan dari model Countenance Stake’s yang menyatakan bahwa oritentasi model ini adalah tujuan dan pendekatan dalam program pendidikan. Karakteristik pendekatan nilai model Countenance Stake’s adalah penalaran induktif, keragaman data, apakah tidak mengikuti rencana standar, multiple record lebih dari sekedar realita sederhana. Kosakata yang terdapat dalam model Countenance Stake’s adalah Antecedents yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang mungkin berhubungan dengan hasil (input, sumber, dll), contohnya: latar belakang guru; Transaction yaitu pertemuan dinamis yang merupakan proses instruksi (kegiatan, proses, dll), contohnya: interaksi guru dan siswa; dan Outcomes yaitu efek dari pengalaman pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru. Ada kelebihan dan kelemahan menggunakan model Countenance Stake’s antara lain adalah:
Kelebihannya yaitu dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani oleh evaluator, upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita yang mungkin terjadi, dan memiliki potensi besar untuk memperoleh wawaasan baru dan teori-teori tentang lapangan dan program yang akan di evaluasi. Sedangkan kelemahannya yaitu pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif, terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument pengumpulan data dan evaluasi kuantitatif, kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.

13. Deepwell. F. (2002). Towards Capturing Complexity: An Interactive Framework For Institutional Evaluation. (On-line). http://www.ifets.info/journals/5_3/deepwell.html. (18 Desember 2010).

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan lingkungan belajar virtual (VLE) mengenai pembelajaran berbasis on-line. Dalam pelaksanaan evaluasinya ada tiga hal yang berbeda yaitu evaluasi yang digunakan untuk memantau perkembangan teknologi lebih lanjut dan untuk pengembangan pendidikan, menginformasikan pengambilan keputusan sekitar kebijakan dan praktek dalam hubungannya dengan pengajaran dan pembelajaran juga teknologi, memberikan kontribusi dalam membangun teknologi dalam proses belajar mengajar. Evaluasi yang dilakukan menggunakan model Countenance Stake, karena dalam model ini dikatakan bahwa matriks yang disarankan untuk data deskriptif dan judgement mampu mendukung program studi yang berkembang setiap saat. Jadi dengan menggunakan model Countenance Stake dapat menangkap kompleksitas suatu inovasi pendidikan atau perubahan dengan membandingkan hasil yang diharapkan dan diamati pada berbagai tingkat operasi.

14. Chen. HJ. et al. (2005). Evaluation of an Integrated Chemistry Laboratory Program with the Countenance Model. Barcelona. (On-line). http://science.gise.ntnu.edu.tw/profile/workshop/Evaluation%20of%20an%20Integrated%20Chemistry%20Laboratory%20Program%20with%20the%20Countenance%20Model.pdf. (18 Desember 2010).

Artikel ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis yang bertujuan untuk melihat penilaian program laboratorium yang menggabungkan perspektif siswa, guru, administrator, dan orang-orang yang bekerja di dalam sekolah. Evaluasi dilakukan dalam rangka untuk melakukan komprehensif investigasi dari program laboratorium dengan membandingkan hasil integrated chemistry laboratory program (ICLP) dengan traditional chemistry laboratory program (TCLP). Model yang digunakan dalam mengevaluasi adalah model Countenance Stake dengan tiga tahapan yaitu Antecedents, Transactions, dan Outcomes. Pada tahap Antecedents yang dievaluasi adalah latar belakang siswa, latar belakang guru dan ketersediaan peralatan yang ada. Pada tahap Transactions yang dievaluasi adalah performance siswa dalam laboratorium, persiapan program dan pada tahap Outcome yang dievaluasi adalah hasil yang penelitian yang dilakukan dalam laboratorium.

15. Shepard, L. A. (1977). A Checklist For Evaluating Large-Scale Assessment Programs. (On-line).
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.119.1418&rep=rep1&type=pdf. (19 Desember 2010).

Artikel ini dijelaskan bahwa evaluasi model Countenance Stake tidak hanya memberikan informasi terhadap data yang dikumpulkan dan judged, tetapi juga mengusulkan kegiatan awal yang harus ditempati oleh evaluator sehingga akan ada kegiatan tambahan yang diperlukan untuk memulai dan mengakhiri evaluasi. Dalam menggunakan model Scriven atau Stake sama fokusnya pada pertimbangan. Hanya saja dalam model Countenance Stake tidak membuat identifikasi standar, tetapi fokusnya tentang program yang mencakup beberapa bagian unsure deskriptif yang tidak ada dalam kerangka lain dan mengecualikan pengkajian checklist dan ditempatkan di bagian persiapan. Dalam porsi indikator Stake berjalan lebih jauh dari scriven dalam mengusulkan efek yang dikaitkan dengan transaksi.

16. Kemble,V & Charles,P. (2010). Robert Stake: The Countenance of Evaluation and Responsive Evaluation. Department of Psychology, University of the Witwatersrand, Johannesburg. (On-line). http://wpeg.wits.ac.za. (7 Januari 2011).

Artikel ini menjelaskan bahwa model evaluasi Countenance Stake sangat berpengaruh dalam evaluasi program. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain evaluasi dalam model Countenance Stake berfokus untuk menunjukkan apakah tujuan dari program tercapai atau tidak. Seperti yang dikatakan oleh Stake bahwa pendekatan formal untuk evaluasi tidak cukup karena mereka hanya melihat hasil dari program. Oleh karena itu, untuk memberikan evaluasi yang lebih luas dan lebih holistic dalam program pendidikan, maka desain evaluasi harus difokuskan lebih dari sekedar tentang apa yang diukur dan bagaimana mengukurnya. Hal ini berangkat dari pendekatan formal untuk evaluasi yang berfokus pada pengukuran hasil. Jadi, untuk memperluas desain evaluasi maka fokusnya pada antecedents, proses dari program serta hasilnya. Hal tersebut berimplikasi bahwa evaluator perlu memeriksa faktor-faktor lain yang telah menghasilkan hasil tersebut untuk membuat informasi mereka berguna bagi stakeholder.

17. Deepwell, F & Glynis. (2008). A Developmental Framework for Evaluating Institutional Change. (On-line). http://midwheb.core-ed.net. (7 Januari 2011).

Artikel ini menjelaskan bahwa kekuatan model Contenance Stake adalah di akomodasi dan penataan berbagai tingkat data. Dalam evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data kualitatif dan kuantitatif, formal dan informal, primer dan sekunder. Jadi, dalam model Countenance Stake semua data diolah sesuai dengan kategori melayani dalam matriks. Matriks menawarkan enam kotak untuk pengolahan data deskriptif dan menentukan hubungan yang dapat diharapkan antara mereka. Stake mendefinisikan tiga tingkatan dalam proses tersebut, yaitu antecedents (kondisi yang ada sebelum intervensi), Transaksi (pertemuan dan negosiasi dari intervensi itu sendiri) dan Hasil (outcome yang timbul selama intervensi). Dalam setiap tahap ada muncul tingkat kongruensi antara apa yang dimaksudkan pada tahap itu dan apa yang diamati. Demikian pula, beberapa antecedents yang diamati akan menimpa pada transaksi yang diamati dan keduanya dapat mempengaruhi hasil yang diamati. Singkatnya kegiatan evaluasi yang harus dilakukan penulis terdiri dari tiga tahap yaitu; Tahap awal, dalam tahap ini fokusnya adalah pada klarifikasi definisi keberhasilan. Tahap kedua, fase ini akan melibatkan mengklarifikasi strategi masa depan dan tujuan untuk masa depan. Tahap ketiga adalah fase formatif dan sumatif.

18. Hidayati, W. (2010). Analisis Kompetensi Pedagogik Dosen Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tariyah Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta. (On-line). http://wiji-hidayati.blogspot.com/2010_06_01_archive.html. (7 Januari 2011).

Menurut penulis dalam pendidikan tinggi dosen memiliki peran yang penting dan memegang kunci dalam pembelajaran, dan budaya paternalistic mahasiswa tergantung kepada gaya, cara, kebiasaan, kedisiplinan, kemampuan dan kompetensi dosen dalam proses pembelajaran sangat menentukan hasil dari proses pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan evaluasi yang dilakukan oleh penulis adalah untuk mengetahui tingkat kompetensi pedagogic dosen. Model yang digunakan oleh penulis dalam melakukan evaluasi adalah model Countenance Stake dengan pendekatan kualitatif. Menurutu penulis model Countenance Stake’s penekanannya terhadap dua hal yaitu deskripsi (description) dan pertimbangan (judgements), serta dibedakan dengan tiga tahapan yaitu antesedent, transaction dan outcome. Dalam penyusunan pertimbangan, kriteria menggunakan pendekatan kriteria fidelity yaitu pendekatan dimana dalam menyusun kriteria dikembangkan dari karakteristik kompetensi pedagogic itu sendiri, kriteria fidelity digunakan untuk mengetahui kesesuaian kompetensi pedagogik dosen di jurusan.

19. Raheja, K.K. (1988). Evaluation Of A Nursing Education Program Using Stake's Countenance Evaluation Model. (On-line). http://openlibrary.org/books/OL17870961M/EVALUATION_OF_A_NURSING_EDUCATION_PROGRAM_USING_STAKE%27S_COUNTENANCE_EVALUATION_MODEL. (8 Januari 2011).

Artikel ini merupakan penelitian dari penulis yang mengevaluasi program pendidikan keperawatan di Northwestern University dengan focus penelitian adalah kegiatan mahasiswa dikelas yang dilihat dari jurnal mahasiswa, pekerjaan tertulis, dan kuesioner. Modele evaluasi yang digunakan adalah Countenance Stake yang memiliki dua kegiatan utama yaitu deskripsi (description) dan penilaian (judgement). Pada Evaluasi Model ini, evaluator memberikan kerangka kerja konseptual untuk berpikir melalui proses evaluasi menyeluruh kreatif dan rasional. Deskriptif penelitian yang digunakan untuk menguji pertanyaan penelitian. Pengumpulan data dan analisis dilakukan berdasarkan matriks deskriptif dan keputusan. Perbandingan dilakukan dengan standar relatif dan mutlak. Selanjutnya, efektivitas model Stake dinilai dengan membandingkannya dengan Komite Bersama Standar.

20. Shepard, K. (2006). Methods for Educational Evaluation: Using Stake's Countenance Model of Evaluation. (On-Line). http://hedc.otago.ac.nz. (15 Januari 2011).

Artikel ini menjelaskan bahwa dalam melakukan evaluasi menggunakan model Countenance Stake ada dua hal yang utama yaitu Intentions dan Obeservations yang didalamnya terdapat tiga tahapan antaralain adalah Antecedents, Transactions, dan Outcomes. Intentions berhubungan kuat dalam hal “Prediksi” dan Observations berhubungan dalam hal “Hasil”. Pendekatan dengan mengunakan model Countenance Stake memungkinkan berbagai data yang akan di asimilasikan kedalam analisis.




»»  READMORE...