Kamis, 20 Oktober 2011

My Tesis

PENGEMBANGAN MODEL MEMORIZATION LEARNING
DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN PESERTA DIDIK PADA PELAJARAN KIMIA SMA

Marintan Nirmalasari, S.Pd

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dalam pembelajaran kimia di SMA yang saat ini masih lebih dominan menggunakan otak kiri dan mengabaikan kinerja otak kanan. Kinerja antara otak kanan dan otak kiri yang tidak seimbang mengakibatkan peserta didik menjadi sulit untuk memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan menggunakan model Memorization Learning dapat meningkatkan penyeimbangan kinerja otak kanan dan otak kiri, sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan dan peserta didik menjadi lebih mandiri dalam belajar serta dapat mengembangkan kreatifitasnya pada saat belajar, sehingga peserta didik menjadi lebih mudah memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru.

Kata Kunci: Memorization Learning, Keseimbangan Kinerja Otak Kanan dan Otak Kiri, Pemahaman Peserta Didik.


A. Latarbelakang Masalah
Dalam era globalisasi saat ini tantangan persaingan diberbagai bidang kehidupan semakin ketat. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan lingkungan dan masyarakat yang cepat dengan kemajuan teknologi informasi yang menuntut kepekaan negara, pemerintah dan masyarakat dalam merespon perubahan agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan dunia (Mahfudin, 2009:1). Untuk menghadapi tantangan era globalisasi dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualiatas, sebagaimana yang diungkapkan oleh bank dunia bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas salah satunya dapat dilihat dari kualitas pendidikannya.
Berdasarkan hasil survey dari beberapa lembaga internasional terlihat bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah seperti pada survey yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001 yang menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 12 negara, dan berada tepat di bawah Vietnam (peringkat 11). Dari laporan TIMSS (Trends in Mathematic and Science Study) pada tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-35 dalam literasi matematika dan peringkat ke-37 dalam literasi Sains dari 46 negara peserta. Studi lain, PISA (Programme for International Student Assesment) pada tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat ke-38 untuk literasi sains dan matematika dan pada peringkat ke-39 untuk literasi membaca dari 40 negara. Tahun 2010 menunjukkan bahwa HDI (Human Development Index), Indonesia menduduki peringkat 108 dari 169 negara yang disurvei, sementara Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand masing-masing menduduki peringkat ke 27, 37, 57 dan 92. (http://hdr.undp.org/en/statistics/)
Pendidikan yang berkualitas atau bermutu tercipta dari keberhasilan kurikulum yang diterapkan dan guru merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan kurikulum. Sukmadinata (2004:195) mengutip pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa betapa pun bagusnya suatu kurikulum (official) hasilnya sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh guru. Hal ini dikarenakan guru merupakan orang yang secara langsung berhadapan dengan siswa (Sanjaya, 2009:15)
Guru sebagai seorang pendidik, harus mengetahui bahwa profesionalisme seorang guru yang utama bukanlah pada kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih pada kemampuannya untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, guru harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik juga harus kreatif, professional, dan menyenangkan (Mulyasa, 2010:36).
Kekereatifan dan keprofesionalan guru dalam mengajar sangat dibutuhkan terlebih lagi dalam pelajaran sains dan salah satunya kimia, karena pelajaran kimia memiliki karakteristik yang bersifat abstrak dan membuat peserta didik seringkali merasa kesulitan memahami konsep pelajaran kimia. Keabstrakan pelajaran kimia antaralain seperti logam besi adalah konsep konkrit sedangkan Fe+3 merupakan konsep abstrak, gaya-gaya kimia terkait dengan konsep jari-jari atom sedangkan jari-jari atom tidak dapat diukur secara langsung. Konsep jari-jari atom harus diperlakukan secara hati-hati karena atom dapat berbeda dalam situasi yang berbeda, apakah berikatan secara ionik, kovalen atau Van Der Waals. Konsep-konsep ini sering tidak menambah kejelasan pemahaman, tetapi justru seringkali menambah kebingungan peserta didik. Selain itu, konsep ikatan kimia, elektron, energi ikat, oksidasi-reduksi, hidrolisis, hidorkarbon merupakan sebagian dari pelajaran kimia yang bersifat abstrak yang sulit dimengerti dan dipahami oleh peserta didik.
Kesulitan peserta didik dalam memahami konsep pada pelajaran kimia tersebut menyebabkan rendahnya kualitas/prestasi peserta didik. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Belajar Pendidikan Berkualitas (KBPB), LAPI ITB pada tahun 2007 disampaikan dalam diskusi pendidikan sains dan matematika di Depdiknas (http://groups.yahoo.com/group/sains/files/ ,Rabu 9 Januari 2007) tentang prestasi peserta didik diIndonesia dilakukan pada tahun 1997-2006 mengatakan bahwa indeks Fasilitas SPMB/UMPTN IPA (perbandingan jumlah peserta kelompok IPA SPMB/UMPTN terhadap jumlah peserta didik yang menjawab dengan benar) pada pelajaran kimia hanya 28,4% jauh dari batas kelayakan dan juga pencapaian Kriteria Ketuntasan Belajar (KKM) dalam pelajaran kimia tidak tercapai.
Ada beberapa hal penyebab rendahnya kualitas peserta didik dalam pelajaran kimia yaitu metode mengajar guru yang kurang baik yang mempengaruhi belajar peserta didik yang tidak baik pula dan guru biasanya mengajar dengan metode ceramah saja, sehingga peserta didik menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja (Slameto, 2003:65). Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Gunawan (2003:154) yang mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada pelajaran yang membosankan, yang benar adalah guru yang membosankan karena tidak mengerti cara menyajikan materi dengan benar, baik, menyenangkan, dan menarik minat serta perhatian peserta didik. Pandangan guru yang demikian merupakan pandangan kuno yang beranggapan bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan materi dan peserta didik ibarat sebuah wadah kosong yang dapat diisi dengan apa saja yang guru inginkan.
Selain hal tersebut, kemungkinan kesulitan belajar lain yang dihadapi oleh peserta didik adalah memahami konsep dalam pelajaran kimia, karena dalam proses belajar peserta didik seringkali hanya menggunakan setengah kemampuan otaknya saja yaitu otak kiri. Penggunaan otak kiri yang dominan dapat menyebabkan, antaralain 1) Tidak dapat konsentrasi, karena saat proses belajar mengajar peserta didik dominan menggunakan otak kiri mulai dari mendengarkan guru, menulis/ mencatat, berpikir secara logis tentang apa yang disampaikan guru,berdiskusi, dan sebagainya. Sedangkan otak kanan tidak digunakan; 2) Tidak kreatif, yang menyebabkan peserta didik mudah menyerah jika menghadapi kesulitan dalam belajar; 3) Tingkat pemahaman rendah, karena pemahaman juga merupakan kemampuan konseptual dari pekerjaan otak kanan. Jadi, ketika peserta didik tidak melibatkan otak kanan dalam belajar dapat mengakibatkan peserta didik yang sudah belajar berjam-jam seperti membaca, menulis, menghapal dan lain sebagainya, namun seringkali tidak mengerti apa yang dipelajari ; 4) Mudah lupa, karena peserta didik mengingat/menghapal dengan menggunakan otak kiri saja atau hapal mati. Peserta didik yang sulit mengingat materi yang diterima dari guru dapat menyebabkan ketika akan melanjutkan ke materi berikutnya peserta didik menjadi kesulitan untuk memahaminya; dan 5) Otak sudah merasa penuh sehingga tidak sanggup lagi menerima informasi-informasi yang baru. Padahal hal tersebut mustahil terjadi karena potensi otak dan kapasitas otak sangat besar melebihi kapasitas komputer (Windura, 2008). Hal ini merupakan kebiasaan belajar disekolah yang sering ditanamkan oleh guru pada saat mengajar dan telah menghalangi keseimbangan kerja otak peserta didik saat belajar. Seharusnya dalam proses pembelajaran yang ditekankan guru adalah bagaimana cara mempelajari materi yang dipelajari, bagaimana cara berpikir terbaik dan paling kreatif, dan bagaimana cara memberikan tingkat pemahaman dan daya ingat yang tinggi.
Berdasarkan permasalahan diatas, menurut penulis salah satu model pembelajaran yang dapat menangani permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan model memorization learning. Model memorization learning dapat meningkatkan daya memori sehingga peserta didik dapat lebih mudah memahami materi pelajaran dan mandiri dalam belajar. Jadi materi pelajaran bukan hanya sekedar menjadi hapalan saja tetapi menjadikan materi yang dipelajari dengan memori dapat dipahami dan bertahan lebih lama dalam ingatan (tidak cepat lupa) karena cara belajarnya membangun cara kerja memori dan menyenangkan. Untuk itu menarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang pengembangan model memorization learning yang dapat meningkatkan pemahaman peserta didik dalam pelajaran kimia SMA.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana desain Model Memorization Learning dalam meningkatkan pemahaman peserta didik pada pembelajaran kimia kelas XI SMA?.

C. Pertanyaan Penelitian
Agar penelitian lebih terarah, rumusan masalah diatas dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana desain model memorization learning yang sesuai untuk dikembangkan dalam meningkatkan pemahaman peserta didik pada pembelajaran kimia SMA?.
2. Bagaimana implementasi model memorization learning untuk meningkatkan pemahaman peserta didik dalam pembelajaran kimia SMA kelas XI?.
3. Bagaimana hasil belajar peserta didik setelah menggunakan model memorization learning pada pembelajaran kimia SMA kelas XI?.
4. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam mengimplementasikan model memorization learning untuk meningkatkan pemahaman peserta didik pada pembelajaran kimia SMA kelas XI?.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menemukan model memorization learning yang sesuai untuk meningkatkan pemahaman peserta didik dalam pembelajaran kimia SMA kelas XI pada materi Hidrolisis, Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dan Koloid di Kabupaten Kota Medan?.
2. Memperoleh informasi yang akurat tentang implementasi memorization learning.
3. Memperoleh informasi yang akurat tentang hasil belajar peserta didik setelah menggunakan model memorization learning.
4. Menemukan faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan model memorization learning.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Bagi kepala sekolah sebagai bahan masukan dalam rangka untuk meningkatkan pembelajaran kimia disekolah.
2. Bagi guru yaitu guru yang mengajar mata pelajaran kimia SMA kelas XI sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman peserta didik.
3. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan awal, pembanding, atau rujukan bagi penelitian yang akan dilakukan.

F. Kajian Teoritis
1. Memorization Learning
1.1. Landasan Memorization Learning
Model memorization learning merupakan salah satu dari model pemrosesan informasi. Landasan filosofis dalam memorization learning adalah berdasarkan filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan salah satu dari dua pandangan atau keyakinan yang mengatur sifat bagaimana pengetahuan manusia dikembangkan. Menurut konstruktivisme yaitu “student develop new knowledge through a process of active constuction” (Parkay et all, 2010). Jadi, orientasi kurikulum dan strategi pengajaran konstruktivisme fokusnya pada cara berpikir peserta didik terhadap materi yang dipelajari, kehati-hatian dalam ketepatan dan pertanyaan, serta kedalaman pemahaman peserta didik terhadap informasi yang baru diterima. Menurut Solso (1991) bahwa teori-teori kognitif konstruktivisme memiliki banyak bentuk antara lain adalah perkembangan kognitif (Piaget, 1970), sebuah pengolahan informasi teori pengetahuan (Neisser, 1967), suatu cara berpikir tentang fungsi kognitif manusia dalam konteks dunia nyata (Barlett, 1932), perspektif tentang kognisi biofunctional (Iran-Nejad, Marsh, & Clements, 1992), dan elaborasi pada satu atau lebih dari pandangan (Weinberg, 1989; Resnick, 1987a; Sternberg, 1982).
Konstruktivisme dalam pendidikan mengartikan bahwa guru merangkul cara berpikir holistik tentang hakikat belajar, sesuatu yang sangat terpisah dari metodologi instruksi langsung. Jadi, konstruktivisme diasumsikan bahwa belajar terjadi di saat pengalaman dan pengalaman merupakan bagian yang harus dipelajari hanya dalam konteks pengalaman keseluruhan. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan tidak memiliki keberadaan yang terpisah dari sistem saraf fisik, diinternalisasi, disimpan, dan direproduksi pada beberapa waktu kemudian. Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam prosespembelajaran karena peserta didik diarahkan membina konsep sendiri dengan menghubungkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu masalah. Pada prinsipnya, pembelajaran telah dilihat sebagai dasar masalah menyimpan informasi untuk nanti dapat diingat kembali.

1.2. Konsep Memorization Learning
Memorizing adalah upaya aktif untuk memasukkan informasi kedalam otak. Lorayne (2008) mengatakan bahwa ada orang yang bisa mengingat suatu informasi dengan cepat, tetapi tidak dapat mempertahankannya untuk dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut disebabkan kurangnya memberdayakan kemampuan memori. Menurut Sangkanparan (2010) meningkatnya daya ingat dapat membuat seseorang mampu belajar banyak dalam waktu yang singkat. Jadi meningkatnya daya ingat sejalan dengan meningkatnya daya tangkap, karena secara biologis hal tersebut terjadi ketika kita menangkap sesuatu hal yang baru, dibuatlah suatu hubungan antarneuron di otak. Semakin banyak tangan neuron, maka semakin mudahlah kita menangkap atau mengerti hal-hal baru. Oleh karena itu, ada beberapa keuntungan disaat memberdayakan kemampuan memori dalam mengelola informasi, antaralain adalah: merekam lebih mudah dan retensi lebih baik; menjadi mampu mengingat apa yang dibutuhkan; mengurangi stres dan kecemasan; membangun pengetahuan yang tahan lama.

1.3. Tujuan Memorization Learning
Model memorization learning merupakan model pembelajaran yang menggunakan memori untuk meningkatkan kemampuan memori. Memorization learning berhubungan dengan cara kerja otak. Stoltz (1987:380) mengatakan bahwa semakin sering kita berpikir atau melakukan sesuatu aktivitas otak menjadi semakin tidak disadari dan semakin otomatis. Otak mempunyai kelengkapan untuk memperlancar perpindahan aktivitas berpikir dari cerebral cortex (wilayah sadar) ke basal ganglia (wilayah tak sadar). Saat proses itu berlangsung, dendrit -dendrit (sambungan-sambungan saraf) menjadi semakin tebal dan semakin efisien cara kerjanya. Menurut Ahmadi (2004:45) Memori adalah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan memproduksikan kesan-kesan. Jadi ada tiga unsur dalam perbuatan memori adalah menerima kesan-kesan, menyimpan dan memproduksikannya. Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia berarti ada suatu indikasi bahwa manusia mampu untuk menyimpan dan mengeluarkan kembali dari suatu yang pernah dialami. Jensen (2007) mengatakan bahwa cara mudah untuk mengingat sesuatu adalah dengan membuatnya menjadi baru, berbeda dan segar. Hal ini karena otak memiliki bias atensional yang sangat tinggi terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pola normal. Oleh karena itu, biasanya kita mengingat hal-hal yang bersifat menyenangkan atau penting menurut kita. Jadi, saat kita merasa nyaman dengan konteks maka kita akan lebih mudah mengingat, itu sebabnya mengingat hal – hal yang kita setujui akan jauh lebih mudah daripada mengingat hal – hal yang tidak disetujui (James, 1996).
Bjork & Robert (1996) mengatakan, jika memori tidak berfungsi, maka fungsi kognitif seperti persepsi, penalaran belajar, bahasa dan pemecahan masalah tidak akan mungkin terjadi. Oleh karena itu, memori berperan dalam fungsi kognitif. Perkembangan memori pada saat anak-anak hanya memberikan reaksi secara verbal, kemudian berkembang pada masa pertengahan dan akhir anak-anak disebutkan empat macam strategi memori yaitu rehearsal (pengulangan), organization (organisasi), imagery (perbandingan), dan retieval (pemunculan kembali), sedangkan perkembangan memori dimasa dewasa dan tua mengalami penurunan dalam daya ingat. Menurut Fieldman (Mar’at, 2008:240) kemunduran memori cenderung terjadi pada keterbatasan memori episodik (episodic memories) merupakan memori yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman tertentu disekitar kehidupan kita, memori semantik (semantic memories) merupakan memori yang berhubungan dengan pengetahuan dan fakta-fakta umum, dan memori implisit (implicit memories) merupakan memori bawah sadar.

1.4. Strategi dan Teknik Memorization Learning
Ruph (2007) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan telah mengalami ledakan logaritmik sejati dalam masyarakat modern. Belajar sepanjang hayat, training yang berkesinambungan, usaha pembelajaran, dan pengembangan keahlian memerlukan kapasitas dalam menjaga dan mengumpulkan informasi yang tersimpan dalam memori setiap orang serta kemampuan yang cepat dalam mengambil informasi yang tersimpan dalam memori kolektif. Kesulitan yang seringkali terjadi dalam strategi memorization adalah kesulitan memilih apa yang penting untuk diingat, meringkas, mensintesis, pengorganisasian informasi yang tidak memadai, materi pelajaran yang kurang berasimilasi, keyakinan bahwa pemahaman cukup untuk mempertahankan, kurangnya referensi untuk realitas diri sendiri, tidak adanya latihan-latihan. Oleh karena itu, keberhasilan dalam belajar sangat tergantung pada kemampuan intelektual yang kita kembangkan dalam rangka memperoleh, mempertahankan, dan menerapkan pengetahuan yang kita perlukan, karena pada tingkat ini memori dengan mudah dapat diproses.
Menurut Lorayne dan Lukas (Joyce et al 2009:231) konsep-konsep dasar yang merupakan prinsip dan teknik meningkatkan kapasitas memori pada materi pembelajaran adalah:
a. Kesadaran (Awareness)
Sebelum dapat mengingat sesuatu, satu hal yang harus diingat adalah ”pengamatan penting untuk memunculkan kesadaran yang sejati”. Jadi segala hal yang betul-betul kita sadari akan sulit untuk dilupakan.
b. Asosiasi (Association)
Agar dapat mengingat semua informasi baru maka harus diasosiasikan terlebih dahulu dengan sesuatu yang sudah dikenal dan diingat sebelumnya. Contoh, untuk membantu siswa mengingat ejaan piece, guru harus memberikan isyarat sepotong kue (piece of pie), yang akan membantu siswa mengeja dan memahami maknanya dengan lebih baik. Batasan utama dari perangkat-perangkat ini adalah bahwa siswa harus menerapkan hal ini untuk satu hal yang spesifik dan tidak dapat menggunakan frasa pieceof pie untuk kepentingan yang lebih banyak dari pada untuk ejaan piece. Untuk dapat diterapkan secara luas, sistem memori seharusnya diterapkan lebih dari satu kali dan seharusnya dihubungkan dengan beberapa pemikiran dan objek.
c. Sistem Link (Link System)
Inti dari prosedur memori adalah persambungan dua gagasan, dengan gagasan yang kedua memicu gagasan yang lain, dan seterusnya. Contoh, misalnya dalam menebak lima kata secara berurutan seperti rumah, sarung tangan, kursi, dapur dan pohon. Harus dibayangkan terlebih dahulu gambar yang tidak biasa, pertama kali rumah dengan sarung tangan, kemudian dengan sarung tangan dan kursi. Pada gambar pertama, yang harus dibayangkan sarung tangan yang membuka pintu depan sebuah rumah, menyambut keluarga sarung tangan tersebut. Gambar kedua mungkin sarung tangan besar yang memegang kursi yang sangat kecil. Dari gambar-gambar yang diciptakan kemudian divisualisasikan untuk diasosiasikan secara berurutan.

d. Asosiasi konyol (Ridiculous Asociation)
Asosiasi merupakan dasar memori, dan kekuatannya dapat diperbesar dengan mewujudkan gambar yang diasosiasi sebagai gambar yang jelas dan lucu, sesuatu yang tidak mungkin, atau tidak masuk akal.Ada beberapa cara untuk membuat asosiasi menjadi lucu. Pertama, menerapkan aturan substitusi/ pengganti. Jika punya mobil dan sarung tangan, gambarkanlah sarung tangan yang sedang menyetir mobil. Kedua, dapat menerapkan aturan ketidakseimbangan. Dapat membuat hal-hal yang kecil menjadi besar atau hal-hal besar menjadi kecil, misalnya sebuah sarung tangan bisbol yang besar yang sedang mengemudi. Ketiga, membuat aturan tindakan yang membesar-besarkan, khususnya dengan angka. Misalnya dengan menggambarkan jutaan sarung tangan yang berbaris/ berparade dijalan. Setelah itu langsung bisa melakukan asosiasi, yaitu sarung tangan yang sedang membunyikan bel pintu dan berpawai dijalanan. Menggambarkan asosiasi yang konyol tidak terlalu susah bagi kita jika kita adalah anak kecil, tetapi membuat gambar-gambar semacam ini akan lebih susah jika kita sudah dewasa atau sedikit lebih logis.
e. Sistem Kata-Ganti (Substitute-Word System)
Sistem kata ganti merupakan cara untuk membuat hal-hal yang ”tidak dapat disentuh, dan bermakna”. Sistem ini benar-benar sederhana, yakni dengan mengucapkan kata-kata atau frasa-frasa yang tampak abstrak dan ”berpikir sesuatuyang bunyinya mirip dengan, atau mengingatkan anda pada, materi yang abstrak dan dapat digambarkan dalam pikiran.” Jika ingin mengingat nama Darwin, mungkin dengan memvisualisasikan angin yang hitam (dark wind). Konsep kekuatan (force) dapat diwakili oleh sebuah garpu (fork). Gambar-gambar yang dibuat sebenarnya mewakili kata, pemikiran dan frasa.
f. Kata Kunci (Key Word)
Inti dari sistem kata kunci adalah memilih satu kata untuk mempresentasikan pemikiran atau beberapa pemikiran subordinate yang lebih panjang. Kata kunci biasanya bersifat abstrak, maka penting untuk menggunakan sistem kata ganti sebelum menciptakan gambar yang dapat dihapal.

1.5. Tahapan Memorization Learning
Model pembelajaran memorization yang dikembangkan dari kajian Pressley, Levin, dan rekan-rekan (Joyce eet al, 2009:235) meliputi empat tahap yaitu memperjelas materi, mengembangkan hubungan-hubungan, meningkatkan gambar sensori, dan melakukan pengulangan. Tahap-tahap ini didasarkan pada prinsip perhatian (the principle of attention) dan teknik-teknik meningkatkan ingatan (the techniques for enhancing recall).


Struktur pengajarannya adalah:
Tahap pertama adalah aktivitas-aktivitas yang mengharuskan pembelajaran berkonsentrasi pada materi pembelajaran dan mengolahnya dengan cara yang dapat membantu mereka mengingat materi tersebut. Secara umum, hal ini mencakup fokus dan berkonsentrasi pada hal-hal substansial yang perlu diingat seperti gagasan-gagasan dan contoh-contoh penting. Menggarisbawahi (underlining) adalah salah satu cara untuk mewujudkan hal ini. Mendaftar (listing) gagasan-gagasan secara terpisah dan mengutarakan kembali (rephrasing) gagasan tersebut dengan kata-kata sendiri adalah cara lain yang dapat memperkuat perhatian (attention) peserta didik. Pada akhirnya merefleksikan materi (reflecting on the material), membandingkan gagasan-gagasan (comparing ideas), dan menentukan hubungan (determining relationship) antargagasan adalah aktivitas ketiga yang harus dilakukan oleh peserta didik.
Sekali materi yang dipelajari telah diklarifikasikan dan dievaluasi, maka peserta didik harus menggunakan teknik-teknik menghapal untuk mengembangkan hubungan-hubungan dengan materi tersebut. Tahap kedua meliputi penerapan beberapa teknik, seperti kata link, kata ganti (dalam hal ini abstraksi-abstraksi), dan kata kunci untuk menghapal kutipan yang panjang dan kompleks. Gagasannya adalah menghubungkan materi baru dengan kata-kata, gambar-gambar atau gagasan yang familiar dan menghubungkan gambar dengan kata.
Begitu pula, sekali asosiasi-asosiasi telah diidentifikasi, gambar-gambar dapat ditingkatkan (tahap tiga) dengan menyuruh peserta didik untuk mengasosiasikan gambar tersebut dengan indera atau makna yang lebih dari satu dan dengan menciptakan dramatisasi lucu melalui asosiasi konyol (ridiculous association) dan melebih-lebihkan (exaggeration). Pada sisi inilah, gambar-gambar dapat direvisi menjadi kekuatan ingatan yang lebih besar. Dalam tahap empat, peserta didik diminta untuk mengingat kembali/ melakukan recall pada materi tersebut.

2. Pemahaman Peserta Didik
Pemahaman dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk menyerap/menangkap makna dan arti dari bahan/materi yang dipelajari. Kemampuan tersebut dapat dinyatakan dengan menterjemahkan suatu materi kedalam bentuk yang lain, menginterpretasikan materi (menjelaskan dengan susunan kalimat sendiri dan meringkas), meramalkan akibat dari suatu kejadian, membuat perkiraan tentang kecenderungan yang nampa dalam tata tertentu (seperti grafik), serta menguraikan isi pokok dari suatu bacaan.
Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bloom (Sudjana, 2006:24) yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yakni gerakan reflex, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perceptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Dimensi pemahaman menurut Anderson dan Nana Sudjana dijelaskan sebagai berikut:
1. Dimensi pemahaman menurut Sudjana (2006:24), yaitu:
a. Pemahaman tingkat pertama, kriteria dan pemahaman ini adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya (misalnya dari mengartikan Bhineka Tunggal Ika).
b. Pemahaman tingkat kedua, criteria dan pemahaman ini adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian membedakan yang pokok dan yang bukan pokok.
c. Pemahaman tingkat ketiga, kriteria pemahaman ini adalah pemahaman ekstrapolasi yakni kemampuan peserta didik dibalik yang tertulis (memberikan makna), dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalah.
2. Dimensi pemahaman menurut Anderson (2001:31) terdiri dari 7 kategori berdasarkan revisi Bloom, yaitu:

a. Interpreting (Interpretasi)
Interpreting (interpretasi) merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk dapat menerima pengetahuan/ informasi dari materi tertentu serta peserta didik mampu menjelaskannya kedalam bentuk lain. Misalnya menjelaskan dari kata terhadap kata (paraphrase/ menguraikan dengan kata-kata), gambar terhadap kata, kata terhadap gambar, angka terhadap kata, kata terhadap angka, notasi terhadap nada, dst. Istilah lain dari Interpreting (interpretasi) adalah menerjamahkan, menguraikan kata-kata, menggambarkan dan mengklarifikasikan suatu materi tertentu.

b. Exemplifying (Membuat Contoh)
Exemplifying merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk memberikan contoh suatu konsep yang sudah mereka pelajari dalam proses pembelajaran. Pemberian contoh terjadi ketika peserta didik memberi contoh yang spesifik dari konsep yang masih umum atau prinsip. Pemberian contoh meliputi identifikasi defenisi, ciri-ciri dari konsep general atau prinsip. Nama lain dari Exemplifying adalah ilustrasing (mengilustrasikan).

c. Clasification (Klasifikasi)
Clasification (klasifikasi) merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk mengelompokkan sesuatu yang berawal dari kegiatan peserta didik yang dikenal pada suatu konsep tertentu, kemudian peserta didik mampu menjelaskan ciri-ciri dari konsep tersebut, dan mengelompokkan sesuatu berdasarkan ciri-ciri yang sudah ditemukan oleh peserta didik tersebut. Klasifikasi meluputi bagian kegiatan mencari ciri-ciri yang relevan atau mencari sebuah pola. Klasifikasi merupakan sebuah pelengkap proses exampliying. Bentuk alternatif dari mengklasifikasi ini adalah menggolongkan dan mengkategorikan.

d. Summarizing (Resume/ Ringkasan)
Summarizing merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk mengembangkan pernyataan yang mampu menggambarkan isi informasi/tema secara keseluruhan berupa ringkasan/resume atau abstrak. Meringkas meliputi kegiatan penyusunan gambaran informasi, seperti arti pengertian dari suatu adegan dan menyimpulkan dari bentuk tersebut seperti menemukan tema. Alternative bentuk ini adalah generalisasi atau abstrak.

e. Infering (membandingkan)
Infering merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk menemukan sebuah pola dari suatu gambaran materi yang diberikan. Aktivitas ini melibatkan kategori Infering merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan membuat resume atau abstraksi dari materi tertentu dengan ciri-ciri yang relevan serta terdapat hubungan yang jelas antara keduanya. Pengambilan keputusan terjadi ketika peserta didik mampu mengihtisarkan suatu konsep.

f. Comparing (Membandingkan)
Comparing (membandingkan) merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih, kejadian, ide, masalah, atau situasi seperti menentukan bagaimana kejadian itu dapat terjadi dengan baik. Mencari satu persatu hubungan antara satu elemen dengan pola dalam satu obyek, peristiwa, atau ide dilain objek, peristiwa atau ide juga termasuk kedalam tahap membandingkan. Nama lain dari Comparing adalah membedakan, menyesuaikan, mapping.

g. Explaining (Menjelaskan)
Merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri peserta didik agar peserta didik dapat mengembangkan dan menggunakan sebuah penyebab atau pengaruh dari materi yang diberikan. Nama lain dari Explaining adalah menjelaskan pengembangan sebuah model pembelajaran. Menjelaskan terjadi ketika peserta didik mampu membangun dan menggunakan model sebab akibat dalam suatu sistem. Model mungkin diperoleh dari teori formal atau mungkin dalam penelitian atau percobaan.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti merujuk pada teori pemahaman yang merupakan penggabungan dari dari teori Anderson (2001:31) dan Sudjana (2006:24). Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa proses pemahaman sangat penting dalam memahami ilmu kimia yang sebahagian besar bersifat abstrak. Adapun pemahaman yang akan diukur dalam penelitian ini yang disesuaikan dengan karakter materi adalah , Interpreting materi (menjelaskan dengan susunan kalimat sendiri dan meringkas), Exemplifying (mampu memberikan contoh dan menggambarkan secara spesifik sebuah konsep), Clasification (menentukan sesuatu berdasarkan criteria tertentu dan mengelompokkannya sesuai dengan karakteristik yang diberikan), Comparing (membedakan antara persamaan dan perbedaan dual hal atau lebih obyek, kejadian, ide, masalah atau situasi).

G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan model pembelajaran berbasis memory untuk meningkatkan pemahaman peserta didik dalam menyeimbangkan antara otak kiri dan otak kanan. Dalam penelitian ini menggunakan metode “Research and Development”. Pengertian penelitian dan pengembangan menurut Sukmadinata (2009:164), adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang sudah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Sugiyono (2009:297), menyatakan bahwa Research and Development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Oleh karena itu, langkah-langkah dalam penelitian ini disesuaikan dengan yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2009:184), yaitu: (1) Studi pendahuluan, (2) Pengembangan model, dan (3) Uji model. Studi Pendahuluan dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang permasalahan pembelajaran Kimia yang selama ini dilakukan dan sebagai acuan untuk mengembangkan model memorization learning yang relevan dalam pembelajaran Kimia. Pada tahap pengembangan model kegiatan yang dilakukan meliputi: a) Penyusunan Draf Awal Model, b) Uji Coba Terbatas, dan c) Uji Coba Lebih Luas.


H. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari kegiatan studi pendahuluan, uji coba terbatas dan uji coba luas yang dilakukan di SMA Negeri Kabuaten Kota Medan dalam upaya mengembangkan model memorization learning untuk meningkatkan pemahaman peserta didik pada pembelajaran kimia kelas XI SMA, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kondisi pembelajaran kimia sebelum pengembangan model
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah lebih berpusat pada guru, sehingga peserta didik lebih cepat bosan pada saat proses pembelajaran terjadi, karena hal tersebut tidak sesuai dengan gaya belajar yang diharapkan oleh peserta didik dan belajar menjadi tidak menyenangkan. Guru juga melakukan pembelajaran lebih dominan memperhatikan kinerja otak kiri peserta didik saja, sehingga kreatifitas peserta didik dalam belajar tidak berkembang. Oleh karena guru dalam mengajar lebih mengembangkan kinerja otak kiri saja membuat peserta didik dalam belajar menjadi lebih dominan menggunakan otak kirinya, sehingga kinerja antara otak kiri dan otak kanan tidak seimbang. Kinerja otak yang tidak seimbang seringkali membuat peserta didik kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru dan peserta didik dalam belajar tidak mandiri sebab untuk belajar peserta didik menunggu perintah dari guru saja.

2. Pengembangan model Memorization Learning
Hasil penelitian dalam proses pengembangan model ini mencakup desain model memorization learning yang cocok dalam meningkatkan pemahaman peserta didik, implementasi yang terjadi pada saat model memorization learning diterapkan, hasil belajar peserta didik setelah menggunakan model memorization learning, serta faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan model memorization learning.
a. Desain model memorization learning
Desain model memorization learning dalam penelitian ini dari mulai draf awal model sampai didapat model yang cocok. Pengembangan model memorization learning dilakukan dalam beberapa kali uji coba yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan setiap kali uji coba dilakukan. Dari perkembangan dan perubahan yang terjadi pada model memorization learning, maka desain akhir model ini adalah:

1. Penyajian Materi
a. guru melakukan demonstrasi didalam kelas
b. membaca  materi yang akan dipelajari
c. menggarisbawahi konsep dari materi yang dianggap penting
d. membuat peta konsep dari materi yang dianggap penting

2. mengembangkan hubungan-hubungan yang sebelumnya telah dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu:
a. teknik kata kunci berdasarkan konsep yang sudah dianggap penting dari peta konsep
b. teknik kata ganti teknik ini dilakukan dari kata kunci yang diganti terhadap kata-kata yang  familiar bagi peserta didik sendiri

3. mengembangkan sensori motorik otak kanan dilakukan dengan cara membuat hal-hal yang konyol dan berlebihan dalam bentuk cerita
4. mengingat kembali materi yang telah dipelajari dari awal hingga akhir

b. Implementasi model memorization learning
Pada implementasi pembelajaran di kelas dengan menggunakan model memorization learning, dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Model memorization learning sangat menekankan keseimbangan kinerja antara otak kiri dan otak kanan, sehingga peserta didik dalam belajar tidak hanya menggunakan otak kiri atau berpikir secara logika saja, tetapi dapat juga mengembangkan kreativitasnya pada saat belajar.
2. Proses belajar mengajar pada model memorization learning berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu, dalam belajar peserta didik yang harus aktif dalam belajar sedangkan guru menjadi pembimbing, motivator dan fasilitator yang membantu peserta didik disaat mengalami kesulitan dalam belajar.
3. Dengan menggunakan model memorization learning mengajarkan peserta didik untuk belajar mandiri dan belajar dapat lebih menyenangkan, karena cara dan gaya belajar ditentukan sendiri oleh peserta didik itu sendiri.


c. Hasil belajar peserta didik setelah menggunakan model memorization learning
Pemahaman peserta didik dalam menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru meningkat setelah menggunakan model memorization learning, karena peserta didik sudah dapat menyeimbangkan kinerja antara otak kiri dan otak kanan.

d. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam mengembangkan model memorization learning
Dalam pengembangan model memorization learning yang menjadi faktor penghambatnya adalah guru memberikan pembelajaran kepada peserta didik lebih dominan menggunakan otak kiri. Oleh karena itu, pada awalnya guru merasa kesulitan dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengikuti langkah-langkah model memorization learning. Peserta didik awalnya juga kesulitan dalam mengikuti langkah-langkah pembelajaran dan merasa kebingungan, karena sebahagian peserta didik merasa aneh dan konyol dengan pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena itu, pada awalnya hasil karya peserta didik masih sangat terlihat jelas gaya berpikir logisnya yang menunjukkan kinerja otak kiri lebih dominan. Setelah peserta didik terbiasa menerapkan model memorization learning, terjadi peningkatan hasil belajar dan peserta didik lebih kreatif lagi dalam belajar dan merasakan belajar lebih menyenangkan. Sedangkan faktor pendukung dalam pengembangan model memorization adalah motivasi dan semangat peserta didik untuk belajar lebih lagi dalam mengikuti langkah-langkah memorization learning.

I. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa model memorization learning dipandang relevan dan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman peserta didik pada pembelajaran kimia di SMA, kaena dengan model ini kinerja otak kanan dan otak kiri dapat seimbang, sehingga peserta didik dapat mengembangkan cara berpikir logis dan kreatifitas dalam belajar. Dengan model memorization learning peserta didik menjadi lebih termotivasi dan antusias dalam belajar, karena mereka dapat mengembangkan kreatifitas mereka sendiri dan menjadikan belajar merupakan suatu hal yang menyenangkan. Dalam pengembangan model ini terdapat faktor-faktor penghambat dan pendukung. Faktor penghambatnya adalah kebiasaan guru dan peserta didik yang lebih dominan menggunakan kinerja otak kiri pada saat proses pembelajaran terjadi, sedangkan faktor pendukungnya adalah semangat dan motivasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2004). Psikologi Umum. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Anderson, L & David R.K. (2001).A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing. New York: Longman.

Bjork, E.L. & Robert B .(1996). Memory. New York: Academic Press.

Braisby, N & Angus.(2005). Cognitive Psychology. New York: Oxford University Press.

Dryden, G & Jeannette Vos. (1999). The Learning Revolution. SelandiaBaru: Vision of Education.

Gunawan. A.W. (2003). Genius Learning Stategy: Petunjuk Praktis Untuk Menerapkan Accelerated Learning. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi.

Hermawati, T. (2011). Model Memorization Dalam Pembelajaran Sharaf Pada Kelas I Marhala I Diniyah Nurul Ummah Putri Penggan Kotagede Yogyakarta. UINSUKA. Yogyakarta.

James, J. (1996). Thinking In The Future Tense. New York. Simon & Schuster: Inc.

Jensen. E. (2007). Brain – Based Learning. California: Corwin Press.

Joyce, B. et al. (2009). Model of Teaching. Eight Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Lorayne, H. 2008. How to Develop a Super-Power Memory.New York :A. Thomas & Co Preston.

Mahfuddin, A. (2009). Profesionalisme Jabatan Guru Di Era Globalisasi. Bandung: Rizqi Press.

Mar’at, S. (2008). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Mulyasa.(2006). Kurikulum Yang Disempurnakan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nisfiannor, M. (2009). Pendekatan Statistik Modren. Jakarta: Salemba Humanika
Nngermanto, A. (2002). Quantum Quetient. Bandung: Nuansa.

Parkay, F. et al. (2010). Curriculum Leadership: Reading For Developing Quality Educational Programs. New York: Pearson.

Riyanto, Y. (2009). Paradigma Baru Pembelajarn. Jakarta: Kencana

Rose, C and Malcolm J. N. (1997).Accelerated Learning For The 21st Century. London: Judy Piatkus.

Ruph F. (2007). Guide to Reflective Thinking on University Learning Strategies. Université du Québec en Abitibi-Témiscamingue

Rusman. (2008). Manajemen Kurikulum. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rusman. (2010). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Sangkanparan H. (2010). Dahsyatnya Otak Tengah: Jadikan Anak-Anda Cerdas Saat Ini Juga. Jakarta: Visimedia.

Sanjaya, W. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana

(2009). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Shaw. D.L. (2007). Learning Theory – How We Learn. Tersedia [on -line] http://academic.udayton.edu/legaled/online/exams/memory04.htm (30 November 2010).

Slameto. (2003). Belajar Dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Solso, Robert, L. (1991). Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon.

Stoltz, Paul G. (1987). Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Oppurtunities. New York. Jhon wiley & Sons, Inc

Sudjana, N. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

(2004). Kurikulum & Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kesuma Karya.

(2009). Metode Penelitian Pendidkan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

(2004). Pengembangan Kurikulum: Teori & Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Warsita, B. (2008). Teknologi Pembelajaran; Landasan & Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Windura, S. (2008). Brain Management Series For Learning Strategy: Be An Absolute Genius. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar